Kompetisi Menggambar untuk Anak-Anak, Mengapa Kami Tidak Setuju?

Sewaktu saya kecil, seingat saya orangtua saya gak pernah mengikutsertakan saya ke dalam sebuah lomba atau kompetisi, kecuali saat momen lomba 17 Agustusan di sekitar rumah. Itupun memang hanya untuk seru-seruan aja kaan. Semakin besar, saya gak pernah tertarik ikut kompetisi, lomba, bahkan olimpiade. Selain saya gak percaya diri, saya juga takut gak bisa mengontrol rasa kecewa ketika kalah. Yap, dari dulu saya selalu memikirkan kemungkinan terburuk dari sebuah kejadian, jadi malah lebih banyak takutnya daripada semangatnya. Saya juga gak paham, apakah ini mungkin dampak buruk dari kepasifan orangtua saya sejak saya kecil, atau memang sebenarnya gak ada masalah juga sama hal ini. Tanpa ikut lomba dan tanpa punya piala satu pun di rumah, saya merasa gak ada masalah sama sekali hingga hari ini. Jadi, saya bisa dibilang gak menyesal juga kalau dulu gak pernah ikut kompetisi.

Orangtua saya mungkin bukan orang yang melek terhadap kebutuhan anaknya, selain belajar di sekolah. Mungkin karena dulu saya tinggal bersama Bude, dan orangtua saya sibuk bekerja. Sejak kecil, kesibukan saya hanya sekolah dan mengaji, lalu mulai ikut kelas tambahan dan les saat SMA. Bisa dibilang, saya gak pernah menggali bakat dan potensi, gak pernah mengasah kemampuan, dan gak punya juga keahlian lain karena gak pernah dikenalkan. Saya hanya menemukan minat dan bakat saya di bidang menulis itu waktu di SMP karena gabung di kelompok mading, ternyata saya suka sekali menulis puisi, dan saya menemukannya sendiri tanpa dituntun oleh orangtua. Andai saya bisa balik ke masa lalu dan bisa meminta, pasti udah banyak les yang saya ikuti di luar bidang akademis, seperti berenang, karate, musik, dan lain-lain.

https://widyasty.com

Kini, saat saya punya anak, saya pengin banget bisa menggali bakat anak saya dan mendukungnya. Memfasilitasi semua kebutuhannya. Memberikannya kepuasan untuk belajar hal baru dan hal selain akademis. Bagi saya, semua itu sangat menyenangkan, dan pastinya akan sangat berguna untuknya saat ia beranjak dewasa. Di usianya yang menjelang enam tahun, salah satu bakat Biandul yang sudah sangat terlihat adalah menggambar. Seperti buah yang jatuh gak jauh dari pohon, Ayahnya sangat berhati-hati dalam memenuhi kebutuhan Biandul di bidang seni. Biandul diajak bereksplorasi dalam gambar dan warna, tanpa ada pemisah antara salah dan benar. Kami, sebagai orangtuanya, sangat hati-hati dalam menuntunnya menemukan mimpi dan cita-citanya, apalagi Ayahnya yang memang bekerja di bidang seni rupa, kemudian anaknya terlihat memiliki interest yang sama. Kesempatan ini gak bisa disia-siakan oleh suami saya.

Sampai saat ini, Biandul belum pernah mengikuti les menggambar, jadi semua kemampuannya otodidak di rumah. Sesekali Ayahnya mengajarinya menggambar suatu bentuk, tapi belum dipaksa untuk memahami semua teknik menggambar. Kembali lagi ke topik kempetisi, Biandul pun gak pernah ikut serta dalam perlombaan menggambar dan mewarnai. Dulu, saya gak paham kenapa Ayahnya sangat melarang hal itu. Satu kalimat yang saya ingat, "Menggambar gak bisa dijadikan kompetisi, karena gak ada parameter benar dan salah". Saya gak terlalu paham, tapi saya sedikit setuju dulu.

Satu keresahan mulai menyentuh saya, ketika beberapa orang sering mengajak Biandul untuk ikut lomba menggambar, karena mereka melihat ada bakat besar, dan ini adalah sebuah kesempatan untuknya berlatih dan mengasah kemampuan. Saya tentunya belum bisa menjelaskan kenapa Ayahnya melarang, jadi saya hanya bisa menolak secara halus sambil memberi alasan bahwa ada perbedaan pandangan yang membuat Biandul gak bisa ikut lomba menggambar. Keresahan ini muncul lagi ketika momen 17 Agustus tahun ini mulai bisa kita meriahkan lagi, setelah bertahun-tahun dilarang karena pandemi Covid-19. Inilah tahun pertama Biandul mengenal konsep lomba/kompetisi.

Di sekolahnya, Ia akan berpartisipasi dalam lomba untuk pertama kalinya. Saya excited tapi bingung juga, takut dia gak bisa mengontrol rasa kecewanya kalau kalah, seperti yang Mamanya rasakan waktu kecil. Saya juga agak kuwalahan ternyata menjelaskan kepadanya konsep acara lomba setiap 17 Agustus, momen apa yang sedang kita rayakan, dan mengapa harus ada lomba. Nah, ternyata, Biandul have fun banget ikutan semua lombanya, gak ada rasa kecewa sama sekali waktu kalah, malah kayaknya dia gak paham deh dia tuh menang apa kalah haha, dia taunya cuma ikutan aja. Untungnya semua anak dapat hadiah hiburan meskipun kalah, jadi tetap happy semua tuh. Biandul cuma menang satu lomba aja kategori berkelompok.

https://widyasty.com
Biandul ikut lomba di sekolahnya 17 Agustus kemarin

Selain di sekolah, Biandul diajak lomba juga di rumah, tapi kayaknya energi dia udah habis duluan deh sama kegiatan di sekolahnya selama 3 hari, jadi dia gak tertarik ikutan meski dibujuk Utinya. Saya sendiri sih gak masalah juga kalau dia gak ikutan, dia lebih milih main sama temannya, lari-larian dan main sepeda. Yang penting tetap bersenang-senang. Waktu diajak ikut lomba mewarnai, dia sempat tertarik dan minta izin. Tapi saya bilang kalau mau gambar di rumah aja. Dia langsung mengiyakan dan gak merengek minta ikutan. Saya agak bingung menjelaskan kenapa gak boleh, soalnya Ayahnya lagi gak ada di rumah, dan sebenarnya yang sejak awal menentang kompetisi menggambar/mewarnai tuh ya Ayahnya Biandul ini.

Ketika Mertua saya bertanya kenapa gak boleh ikutan lomba, saya cuma bilang, "Ayahnya pernah ngelarang dulu, Bu. Katanya kalau lombanya mewarnai atau menggambar gak usah. Kalau kenapanya tuh gimana ya, bingung jelasinnya juga." Mulailah keresahan saya mencapai puncaknya. Kenapa ya saya dari dulu iya iya aja dan gak memahami alasannya juga? Kenapa ya saya gak ngotot juga nanya alasan ini ke suami saya dari dulu? Kenapa saya malah bingung sendiri ya sama aturan yang keluarga kami terapkan? Wkwkwk, agak lawak jadinya.

Padahal Utinya Biandul udah pengen nemenin dan daftarin, tapi kebetulan waktunya malam hari. Jadi, saya pakai alasan yang lebih masuk akal pada saat itu, kalau ini udah kemaleman, dan nanti selesainya lewat dari batas jam tidur malam Biandul. Lagipula dia belum makan malam, dan saya baru mau mandi waktu itu. Besoknya juga mau bangun pagi karena Biandul mau ikut pawai sepeda bareng, jadi alasan saya lebih ke waktunya aja yang gak tepat. Bingung juga kenapa lombanya malam-malam ya, padahal untuk kategori anak di bawah 4 tahun katanya.

Setelah itu, saya langsung laporan ke suami saya, "Kita butuh ngobrol. Aku belum benar-benar paham alasan kita ngelarang anak ikut kompetisi gambar, tiap ditanya orang kenapa, aku bingung jelasinnya." Waktu Ayahnya Biandul pulang ke rumah, kita langsung ngobrol. Gak kerasa ternyata kita ngobrol sampai jam 2 pagi, tapi saya langsung paham dan gak bingung lagi sama alasannya.

Suami saya, yang memang menekuni bidang seni rupa, khususnya drawing, merasa sangat bertanggung jawab jika anaknya ternyata punya minat di bidang yang sama. Semua keputusan tentang bakatnya ini harus diambil penuh kebijakan, mengingat dia belajar secara otodidak dan gak sepenuhnya difasilitasi, sehingga rasanya sangat berat merangkak dari bawah hingga sampai di titik saat ini. Ia bisa bekerja di bidang ini, memenuhi nafkah keluarganya dari menggambar, dan dia bekerja sendiri tanpa terikat oleh korporat manapun. Banyak sekali mimpi yang belum diraihnya, dan masih harus dikejar, jadi dia merasa bahwa dia berperan besar dalam membentuk minat Biandul di bidang ini. Mengenalkannya pada kompetisi hanya membuat Biandul merasa gak bisa jadi diri sendiri.

Menurut suami saya, melalui kompetisi, Biandul gak akan bisa menghargai proses dan menerima hasilnya sebagai karakter gambarnya sendiri, karena akan selalu merasa dibandingkan dengan gambar orang lain. Belum lagi dia akan mengejar hasil gambar hanya karena ingin menjadi juara, padahal menjadi juara di kompetisi itu bukan patokan prestasi yang harus diraih. Ia lebih baik mengikuti kelas tambahan khusus menggambar, meskipun kita harus mengeluarkan uang untuk biayanya, tapi diajarkan berbagai macam teknik dan proses menggambar dan mewarnai, daripada harus mengikuti kompetisi dan mengejar hadiah. Belum lagi mengatasi rasa kecewanya saat kalah dalam kompetisi. Ia gak bisa mengembangkan karakter gambarnya karena harus mengikuti standar juri.

Penilaian juri pun gak pernah ada parameternya, poin apa saja yang dinilai dan dipilih untuk menjadi juara, selain selera dari jurinya. Dalam kategori anak-anak, penilaian mungkin hanya berdasarkan kerapian, keindahan bentuk, dan komposisi gambarnya, yang mana itu semua gak pernah ada nilai benar dan salahnya. Apakah ada kompetisi menggambar anak yang dinilai berdasarkan teknik arsiran, kemiripan objek yang digambar, komposisi terang dan gelap, dan proporsi yang sesuai? Apakah juri yang ditunjuk punya keahlian di bidang seni rupa? Jika tidak, maka sebenarnya penilaian tersebut sangat rancu. Jika dibilang "ini kan cuma lomba anak-anak doang", nah jadinya malah makin memperburuk mindset yang dibentuk sejak dini.

Kalau anak-anak tidak diniatkan sejak awal untuk menjadi seniman, mungkin penilaian waktu lomba menggambar gak ada pengaruhnya. Menang ya senang, kalah juga besok udah lupa. Tapi, kalau sudah jadi cita-cita anak sejak kecil dan mau dikembangkan secara serius sampai Ia besar, penilaian dalam kompetisi itu bagaikan bumerang, yang akan menyerang balik ke diri anak itu, dan malah bisa meredupkan minatnya kalau kalah. Padahal untuk bisa menjadi juri atau kurator sebuah karya seni rupa, seseorang harus mengambil pendidikan di jurusan seni rupa. Beda halnya dengan olimpiade sains, yang mana kompetisinya dinilai berdasarkan poin tertinggi yang dapat diperoleh seseorang jika bisa menyelesaikan soal yang diberikan. Setiap soal punya jawaban yang sangat absolut, jika benar ya benar, dan jika salah ya salah. Gak ada perspektif yang berbeda dari setiap juri.

Ayahnya Biandul pernah bilang, bahwa Biandul bisa saja masuk ke sekolah seni kalau sampai besar Ia masih punya minat di bidang seni rupa. Tapi, kita gak pernah mau ikut campur dalam keputusannya karena itu hak penuh Biandul dalam memutuskannya nanti. Biasanya, anak kecil suka menonjolkan minatnya di beberapa bidang, dan akan meninggalkan bidang yang ternyata gak sesuai dengan keinginannya lagi di kemudian hari. Misalnya, waktu kecil sangat suka musik dan orangtuanya mendaftarkan les musik, tapi bisa jadi anaknya lama-lama akan pindah ke bidang lain karena udah gak minat lagi di musik. Setidaknya, orangtuanya sudah memfasilitasi anaknya dengan membiarkannya mengenal minatnya satu per satu. Untuk sekarang, Biandul belum mengambil kelas tambahan menggambar, tapi Ia sedang diajak ikut kelas Muay Thai. Kalau yang ini sih lebih ke kemampuan bela diri, yang saya dan suami yakini sangat berguna untuknya. Lain kali, saya akan tulis tentang kelas ini deh, kalau sudah sempat.

Balik lagi ke kompetisi di bidang seni rupa, menurut suami saya, kreativitas gak bisa semudah itu dinilai dan dipilih untuk jadi juara 1, 2, dan 3. Kreativitas gak punya batas antara benar dan salah. Seseorang yang ingin menjadi seniman, bisa memperdalam teknik menggambar dengan cara belajar dan menempuh pendidikan, bukan dengan kompetisi.

https://widyasty.com
Bian dapat hadiah lomba 17 Agustusan di sekolahnya karena menang lomba berkelompok

Saya pernah baca dari Blognya R.E. Hartanto, bahwa meskipun Beliau (juga) menentang praktek kompetisi atau lomba menggambar, Beliau tetap gak bisa menghapus/melarang kegiatan tersebut, jadi biarkan saja kegiatan tersebut tetap ada dan dilaksanakan. Biarkan anak-anak yang mau berpartisipasi. Kembali lagi ini adalah value keluarga pada masing-masing pola asuh, mau menerapkan yang mana saja itu tidak apa-apa. Tidak ada yang salah atau benar, selama anaknya sendiri juga tidak keberatan atau merasa terpaksa. Kalau anak punya perasaan seperti itu, lalu jadi stres karena tekanan dari keluarga, ini menurut saya sudah termasuk child abuse.

Orangtua yang memaksakan kehendak pada anaknya, tanpa berpikir bahwa anak punya hak memilih atas hidupnya sendiri, termasuk child abuse. Penyebabnya bisa ada pada inner child orangtuanya yang mungkin belum pulih dari luka masa lalu, atau dendam ke diri sendiri karena punya ambisi yang belum kesampaian, sehingga secara gak sadar memaksa anak menjadi apa yang diinginkan. Nah, jangan sampai kita berperilaku seperti itu ke anak yaah.

Apapun pilihan pola asuhmu, berikan yang terbaik untuk anak. Saat anak masih kecil, semua kontrol ada di tangan kita. Tapi, jangan lupa bahwa anak juga bertumbuh. Mereka punya hak juga dalam memilih dan memiliki keinginan dalam hidupnya. Give them some respects! ✨

Ada yang punya opini atau tanggapan lain? Share di komentar ya! 😊

Share:

36 comments

  1. Masyaallah tabarakallah 🥰 suka banget baca nya. Kompetisi itu memang bukan ajang mengukur kemampuan anak. Yg bisa mengukur kemampuan anak hanya orang tuda dan diri nya sendiri 😍 semangat mah

    ReplyDelete
  2. Setuju banget dengan suaminya. Biar dalam seni rupa anak menemukan dan menikmati journey nya sendiri. Kalau penilaian tergantung pada selera juri apalagi yang nggak punya latar belakang seni rupa, bakal repot, misal juri sukanya warna-warna pastel dikasih gambar warna cenderung gelap ya bagi dia nggak bagus, meski aslinya kualitas gambarnya bagus.

    ReplyDelete
  3. Yes... Menang... Saya sangat suka

    ReplyDelete
  4. Setiap orang pasti punya pendapat sendiri tentang cara mendidik anak2nya. Mulai dari membolehkan tuk ikut kompetisi atau tidak. Yang pasti semuanya ada alasannya dan berdasarkan hasil pertimbangan. Seperti yang dilakukan ayah Bian. Semoga Bian menjadi anak yg sehat, dan terus berkembang kemampuan menggambarnya.

    ReplyDelete
  5. anak2 kecil di kisaran umur 4-7 tahun emang perlu banyak belajar mengenal visual2 dan seni yang memudahkan mereka untuk menangkap potensi dan bakat mereka.. sya dulu juga pas masih kecil sering bgt di belikan buku gambar dan alat2 lukis, dan hal itu memancing kita untuk terus berkembang dan menghasilkan karya.. untuk org tua mohon membimbing anak2nya untuk menyimpan karya2 lukisannya buat kenang2an di masa depan kelak..

    ReplyDelete
  6. Mau cerita aja. Dulu ada teman Ory yg selalu juara lomba mewarnai di luar kota, tapi kalau kompetisi antar TK pasti gak juara 🤣 ortunya paham koq kalau Sang Juri lebih suka pemenang dari TK anu

    ReplyDelete
  7. Saya justru setuju sama pemikiran suaminya mbak ya. Saya sendiri juga besar dalam keluarga seniman, paman pematung, ibu dulu sinden, kakak penari dan bibi pelukis. Dan sejak dulu keluarga enggak pernah mengikutkan saya ajang kompetisi dalam bidang seni dan baru saya kuliah ikut kompetisi bidang sastra di kampus. Karena seni itu abstrak dan memang nggak ada tolak ukurnya kecuali yang bersifat subyektif alias menurut orang. Bahkan seorang ahli pun preferensinya berbeda. Kalau di keluarga saya (pengalaman pribadi) lebih menekankan ke anak kalau lomba itu bukan kompetisi dan sifatnya senang-senang jadi menang kalah bukan masalah. Semangat Mom... ❤️

    ReplyDelete
  8. Saya yang dulu dapat nilai seni rupa pas-pasan nggak bisa komen apa-apa. Gimana pun cepat atau lambat, semua orang akan berkompetisi dalam hidup, dibanding-bandingkan, mengalami kekalahan, kegagalan, bahkan mungkin dihina; mengubah semua itu jelas mustahil kecuali anak punya previlege besar. Misal: anak keluarga kerajaan yang otoritasnya besar.

    ReplyDelete
  9. Setuju banget, karena anak-anak juga suka dengan karya-karya imajinasi baik bentuk maupun warna.

    ReplyDelete
  10. Setuju ka karena umur-umur anak-anak sedang suka berimajinasi baik warna maupun bentuk. Dan itu baik buat perkembangan anak

    ReplyDelete
  11. memang ada perbedaan pendapat ya terkait anak ikut lomba ini. kalau anakku ada sih beberapa kali kuikutkan lomba dan kalah terus hihi. untungnya anaknya nggak terlalu mikirin soal kalah menang ini malah ibunya yang kadang kepikiran. hihi

    ReplyDelete
  12. Kalau aku sih terserah anaknya buat ikut kompetisi atau tidaknya yang penting anak bisa mengembangkan kemampuan diri trus harus belajar menerima kekalahan karna kadang yg ikutan lomba sudah jago2 ikut les gambar semuaa

    ReplyDelete
  13. setiap orang tua pastinya punya alasan sendiri-sendiri mengenai kenapa anak dibebaskan mengikuti kompetisi atau tidak, yang pasti nggak ada paksaan juga ke anak mengenai keharusan.
    kadang kalau anak-anak dikisaran umur TK suka bingung juga, kadang ada anak temenku yang diajak ke kompetisi mewarnai, malah ogah-ogahan, kadang kalau di rumah malah mood mewarnai. Kayak masih labil

    ReplyDelete
  14. Setiap orang tua pasti punya alasan tersendiri mengapa harus A, mengapa B. Kalau menurutku pribadi, selama anak itu mau ikut lomba tersebut tidak apa apa. Hanya saja, sebagai orang tua akan memberi tahu tentang sebuah kompetisi akan ada yang menang dan kalah. Namun menang dan kalah bukanlah patokan tentang bagus atau tidaknya sebuah karya. Jadi anak juga bisa belajar memahami akan hal itu..

    ReplyDelete
  15. Saya sih setuju apapun asal yg terbaik buat anaknya aja. Anak juga kan punya hak menentukan jalan hidupnya
    Orang tua bisa apa?

    ReplyDelete
  16. Wah, pandangan baru nih bagi saya. Baru terpikir juga untuk bidang2 seperti seni memang kurang tepat untuk dilombakan sebenarnya ya. Mungkin di satu sisi, hal yang bersifat teknis bisa dinilai, tapi imajinasi, kreativitas, dan lainnya agak sulit dipandang secara obyektif. Saya pun kadang mengikutsertakan anak-anak dalam kompetisi, hanya saja sebisa mungkin dilakukan dengan happy saja, tanpa tekanan.

    ReplyDelete
  17. Menurutku, ini dikembalikan lagi ke kondisi dan karakter anak. Kalau anaknya memang senang berkompetisi atau katakanlah, ia belum paham makna kompetisi, intinya menggmbar bersama teman-teman yang banyak, nah.. Ini bisa jadi pemahaman sekaligus pengalaman yang baik bagi anak untuk mengenal bahwa di dunia ini ada yang namanya keanekaragaman.

    Dari satu gambar, menghasilkan aneka kreasi yang indah.

    ReplyDelete
  18. Masya Allah, Dek Bian, suka menggambar karena memang bapaknya juga seorang seniman drawing. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya nih. Tapi, memang benar, ya, lomba menggambar itu bukan ajang untuk menentukan prestasi menggambarnya bagus atau tidak. Karena penilaian pasti berdasarkan selera juri, tidak ada parameter yang jelas.

    Bahkan ya, dalam pameran lukisan, yang kadang menurut saya itu lukisan apa enggak jelas karena abstrak, tapi bagi penikmat seni, itu hasil karya yang luar biasa dan bernilai milyaran.

    ReplyDelete
  19. Kalau saya, selama anakknya mau dan enjoy selama berkompetisi ya why not
    Kompetisi juga menjadi salah satu sarana belajar bagi anak
    Cuma memang kembali lagi ke gaya parenting masing-masing ya kak

    ReplyDelete
  20. Jadi ingat pas Keponakan ikut lomba mewarnai lalu belum dapat juara. Dia nagis, mau dapat piala. Emang, seni itu kurang cocok diperlombakan. Tiap orang juga punya rasanya tersendiri. Cuma kebanyakan, kalau lomba ya kudu sesuai pakem. Misal, rumput harus hijau, langit itu biru

    ReplyDelete
  21. Kalau sejak anak-anak udah diajarin menggambar, di stimulasi minat dan bakatnya, saat dewasa nanti ia bisa menemukan passionnya. Sehingga mudah bagi anak untuk menentukan keputusan apa yang akan diambil. POV : Salut sama ortu yang ngarahin anaknya seperti ini.

    ReplyDelete
  22. Intinya tetap disesuaikan dengan minat dan bakat si anak, karena di rumah dakupun demikian ke keponakan. Kalau dianya mau ikut lomba menggambar silakan, tapi harus siap menang dan kalah, yang penting dapat pengalaman dan enjoynya

    ReplyDelete
  23. Opini suami mba dipikir bener juga sih. Yg namanya lomba menggambar untuk anak2 terkadang penilaiannya ga jelas. Aku inget banget zaman kecil pernah ikut begitu, dan pemenangnya salah satu temen yg papanya juga guru kesenian di sekolah lain 😄. Sempet rame jadinya, aku inget Krn temrn2 mama kumpul dinrumah gosipin hal begitu 🤣. Yg bilang pilih kasih dan lainnya. Dan juara 2 nya menurt mereka jauh lebih bagus drpd si juara pertama.

    Ntahlah yaa .. menurutku subjektif memang. Lah kalo anaknya punya bakat gambar abstrak piye 😅. Masa langsung dibilang ga ada bakat samasekali.

    Untuk hal2 bersifat kreasi, aku setuju, sebaiknya ga diikutlombakan. Beda cerita kalo lomba eksakta matematika, fisika, yg mana itu jawabannya mutlak 😄

    ReplyDelete
    Replies
    1. sejalan dengan pemikirannya kak Fanny. aku juga kurang setuju bahkan sangat gak setuju ada lomba menggambar di sekolah TK atau sekolah manapun. karena emang seperti paksumainya mba bilang, ""Menggambar gak bisa dijadikan kompetisi, karena gak ada parameter benar dan salah"

      apalagi lomba mewarnai ya gak boleh si warnanya keluar garis. laah gimana ya, anakku sukanya gambar asbtrak. suka ngasih warna tabrakan dan gak sesuai realitas! wkwkwkwk sedih kan? hahahaha

      di satu sisi, kompetisi ada baiknya juga. karena bisa menstimulus kemampuan anak/kita. bisa jadi pecut semangat untuk lebih bisa dan lebih kreatif.

      mungkin tergantung jenis lombanya apa ya. setuju dengan kak fanny, kalau lomba eksakta yaaaa, why not? hihihi

      but overall, aku setuju dengan statement dan value keluarganya mba terkait lomba menggambar anak TK. kalau bisa sih, di hapusin aja. kenapa gak lomba yang lain, misal apa ya.....lomba menyanyi? menari? baca alquran? better kan ya?

      Delete
    2. sejalan dengan pemikirannya kak Fanny. aku juga kurang setuju bahkan sangat gak setuju ada lomba menggambar di sekolah TK atau sekolah manapun. karena emang seperti paksumainya mba bilang, ""Menggambar gak bisa dijadikan kompetisi, karena gak ada parameter benar dan salah"

      apalagi lomba mewarnai ya gak boleh si warnanya keluar garis. laah gimana ya, anakku sukanya gambar asbtrak. suka ngasih warna tabrakan dan gak sesuai realitas! wkwkwkwk sedih kan? hahahaha

      sebagai pelaku seni gambar juga, aku ngerasa kek kalau ada lomba tuh jadi gak bisa bekreasi "liar". terbentur teori, terbentur term and condition. malah jadi gak bisa berkarya.

      di satu sisi, kompetisi ada baiknya juga. karena bisa menstimulus kemampuan anak/kita. bisa jadi pecut semangat untuk lebih bisa dan lebih kreatif.

      mungkin tergantung jenis lombanya apa ya. setuju dengan kak fanny, kalau lomba eksakta yaaaa, why not? hihihi

      but overall, aku setuju dengan statement dan value keluarganya mba terkait lomba menggambar anak TK. kalau bisa sih, di hapusin aja. kenapa gak lomba yang lain, misal apa ya.....lomba menyanyi? menari? baca alquran? better kan ya?

      Delete
  24. Saya setuju.. karena konsep lomba hanya ada satu pemenang. Sedangkan yang lain adalah loosers.. sedangkan itu akan melekat pada ingatan anak, bahwa mereka pernah kalah. Itu merusak rasa percaya diri anak dan membuat self judgement, bahwa dia adalah seorang looser yamg tidak punya kemampuan. Padahal anak membawa talent mereka masing-masing.. dia adalah pemenang untuk kehidupan nya sendiri.

    ReplyDelete
  25. konsep pemikiran orangtua begini yang sedang saya pelajari mbak. Sepakat bab ngikutin anak buat mau berkompetisi sesuai potensinya. Namun, ada beberapa hal yang kadang jadi nunjuk diri sendiri sebagai orangtua. Sebenernya yang antusias ortunya apa anaknya, hhe

    ReplyDelete
  26. Kalau buat ibu yang penting anaknya mampu mengembangkan bakat gambarnya supaya kemampuannya terus meningkat kalau soal.kompetisi ikutan aja kalah menang ya diterima dengaj iklas hati

    ReplyDelete
  27. Sebuah insight yang cukup baru bagi saya. Biandul ini beruntung, punya ayah dan ibu yang sangat perhatian dan siap dalam mengambil sikap, meski ada sikap yang dianggap tidak populer oleh kebanyakan orang.
    Semoga Biandul semakin suka menggambar dan bisa terus berkarya sama Ayahnya, tentunya dengan dukungan Ibunda nya juga.

    ReplyDelete
  28. Jalan pikirannya mirip ortuku dulu nih, saya memang tidak diikutkan lomba karena ortu tidak memaksakan berkompetisi. Beliau juga bilang kalau mau pintar menggambar bukan dengan cara kompetisi, tapi belajarlah dari para pakarnya

    ReplyDelete
  29. Kalau menurut saya ini soal bagaimana menentukan prespektif, di satu sisi memang dalam alam bawah sadar tertanam bahwa ada pikiran "membanding-bandingkan", dan menganggap bahwa parameter penilaiannya tidak jelas karena berdasarkan selera. Tapi semua perlombaan juga soal penentuan selera bukan?

    Kalau saya pribadi ketimbang melarang ikut perlombaan, lebih baik mencoba menguatkan mental dan pengertian, bahwa tidak menang adalah bagian dari proses. Sehingga ketika ikut nantinya, ya nothing to lose aja, gak perlu berharap menang. Menang itu bonus, paling tidak mendapatkan vibes nya dan juga menjadi wadah penyaluran ekspresi.

    ReplyDelete
  30. Kalau menurut saya ini soal bagaimana menentukan prespektif, di satu sisi memang dalam alam bawah sadar tertanam bahwa ada pikiran "membanding-bandingkan", dan menganggap bahwa parameter penilaiannya tidak jelas karena berdasarkan selera. Tapi semua perlombaan juga soal penentuan selera bukan?

    Kalau saya pribadi ketimbang melarang ikut perlombaan, lebih baik mencoba menguatkan mental dan pengertian, bahwa tidak menang adalah bagian dari proses. Sehingga ketika ikut nantinya, ya nothing to lose aja, gak perlu berharap menang. Menang itu bonus, paling tidak mendapatkan vibes nya dan juga menjadi wadah penyaluran ekspresi.

    ReplyDelete
  31. Wah, ternyata itu alasannya ya. Bener juga sih, parameter penilaian menggambar itu apa ya, karena mengapresiasi lukisan dan gambar tuh lebih cenderung subjektif dari orangnya.

    Di RT sini ada lomba mewarnai anak. Panitianya remaja-remaja2 RT buat seru-seruan. Aku lihat yang menang bukan yang mewarnainya paling bagus. Pas aku tanya secara pribadi ke panitia kenapa yang menang dia, jawabannya ternyata karena bisa mewarnai full satu halaman meski belum sempurna. Karena ada yang mewarnai lebih bagus dan bergradasi, tapi nggak sampai full satu halaman.
    Nah yang kaya gini suka kasihan juga sama yang kalah padahal udah telaten banget bikin gradasinya juga.

    ReplyDelete
  32. kalo anaknya enjoy berkompetisi, saya akan mendukung, Mba. tapi kalo anaknya keberatan saya gak akan paksa untuk ikut

    ReplyDelete
  33. Wah jadi pencerahan banget nih pendapat suami mbak. Saya juga dari kecil jarang ikut lomba lomba. waktu udah besar, mulai berani ikut dan pelan pelan bisa juga kok memahami dan menyikapi kekalahan dan kemenangan.

    ReplyDelete
  34. Kalau aku sebagai orangtua, tentunya sudah sangat senang kalo anak berani berkompetisi atau tampil kedepan tanpa malu dan takut cuma memang terkadang mereka belum kenal konsep bahwa pertandingan ada menang ada kalah itu yang hrus diajarkan agar mereka tidak merasa terbebani saat kalah dalam kompetisi

    ReplyDelete

Thank you for meeting me here! Hope you will be back soon and let us connect each other 😉