Widyanti Asty | Parenting Blogger Indonesia
  • • Home
  • • About Me
  • • Media Kit
  • • Advertorial
  • • Contact Me
Kemarin muncul post sebuah berita tentang Ibu Risma, Menteri Sosial RI, yang menolak adanya konsep panti jompo, karena dianggap gak sesuai dengan budaya dan agama di negara ini. Di sebuah portal berita tentang statement Ibu Risma, Beliau menyampaikan bahwa konsep ini dikhawatirkan akan membawa pemikiran bahwa seorang anak bisa saja menelantarkan atau membuang orangtuanya ke panti jompo. Beliau juga menekankan pentingnya mengembalikan nila-nilai tradisional dan menghormati orangtua kita. Hmmm.. kamu sendiri setuju gak sama pendapatnya Ibu Risma?

https://widyasty.com

TENTANG NILAI MENGHORMATI ORANGTUA

Jaman sekarang, kalau kita peka di media sosial, banyaaaakkk banget anak muda yang "curhat" tentang konfliknya dengan orangtua, banyak juga yang akhirnya merasa kurangnya kasih sayang dari orangtua. Penyebabnya tentu banyak, tapi apakah artinya kita jadi bisa bebas melawan orangtua atau bahkan sampai harus pergi dari rumah dan memutuskan hubungan dengan mereka? Ya, ini balik lagi ke kondisi masing-masing, karena yang tahu seberapa baik dan buruk hubungannya kan pasti anak dan orangtua itu sendiri.

Kalau cuma perkara beda pendapat sih namanya bukan pasti toxic ya, cuma memang perlu diperbaiki aja komunikasinya, lalu kita bisa kok tetap menghormati orangtua dengan cara masing-masing. Kita masih bisa saling menyayangi, saling perhatian, mencari kegiatan yang memperkuat bonding, jadi di masa tua pun kita gak merasa koneksi dengan orangtua memudar. Nah, cara kita menjaga hubungan dengan orangtua kan pasti dilandasi dengan rasa kasih sayang, sehingga kita merasa harus menjaga orangtua kita sampai mereka tutup usia 🥹🥲

Jadi, menurut saya, nilai-nilai menghormati orangtua itu pasti akan selalu tumbuh dari dalam hati, meskipun kita semua punya perbedaan kondisi, perbedaan jarak, dan lain hal lagi.

PANTI JOMPO ≠ TEMPAT PEMBUANGAN ORANGTUA

Saya setuju sama poin Ibu Risma bahwa memang lebih baik kalau orangtua tetap berada di lingkungan keluarganya, supaya kita bisa merawat dan memberi kasih sayang yang baik ke orangtua, dan mereka tidak merasa ditelantarkan oleh anak-anaknya di panti jompo. Tapi, apakah semua orangtua mau tinggal bersama anak-anaknya hingga tua, apalagi jika mereka semua sudah berkeluarga? Belum tentu.

Mungkin jaman dulu, iya. Banyak kondisi yang juga menempatkan seorang anak, mau gak mau harus "menampung" orangtuanya di rumah dan tinggal bercampur dengan keluarga. Nah, kadang konflik baru malah jadi muncul nih, karena satu rumah dihuni banyak kepala. Sebelumnya bisa baca tulisan saya dulu tentang Masalah Pernikahan yang Paling Sering Muncul.

Tapi, gak sedikit juga kok yang bisa hidup harmonis meskipun tinggal bersama dengan anggota keluarga yang banyak. Intinya, kondisi tiap rumah tangga itu berbeda-beda, jadi kita juga punya banyak pilihan yang bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing, gak hanya dikotak-kotakkan dengan pernyataan "semua harus begini supaya bisa begitu".

Di jaman sekarang, banyak banget teman saya yang setuju atau bahkan sangat menerima konsep hidup masa tua di panti jompo, jadi gak ada salahnya bisa di Indonesia ada tempat/fasilitas tersebut, karena menurut saya tempat itu juga gak buruk kok. Buat anak yang menelantarkan orangtuanya, itu kan berarti karena orangnya yang memiliki keputusan itu, terlepas menurutnya itu salah atau benar, bukan lagi jadi urusan kita. Tapi, menurut saya, di mana orangtua yang sudah lansia dan ditelantarkan keluarganya bisa punya tempat tinggal kalau bukan panti jompo yang menerimanya? Masa mereka harus hidup di jalanan? 😟

Baca juga: Senior Living, Opsi Tempat Tinggal di Masa Tua

KUALITAS HIDUP DI PANTI JOMPO

Memang sudah sejak lama penyebutan "panti" itu dianggap sebagai tempat orang-orang terlantar, gak cuma untuk lansia tapi juga anak-anak dan bayi. Akhirnya, kita juga sering merasa bahwa panti adalah tempat orang yang tidak diharapkan, dibuang, dan kurang kasih sayang, huhu. Tapi ya menurut saya itulah fungsinya panti.

Jika panti jompo dianggap punya konotasi negatif hanya karena penyebutan atau penamaannya, mungkin kita bisa lihat dulu bagaimana fasilitas di dalamnya, dan perlu riset lebih dalam tentang angka kualitas hidup para lansia selama tinggal di panti jompo. Apakah lebih banyak mereka yang merasa kesepian dan kurang kasih sayang, atau justru banyak yang merasa bahagia karena punya banyak teman sesama lansia di sana dan punya banyak kegiatan yang dilakukan bersama sehari-hari?

Fasilitas yang disediakan juga beragam, tentunya dengan biaya yang berbeda juga. Setahu saya juga nama tempatnya belum tentu benar-benar menyebutkan panti jompo, kok, meskipun mungkin ada juga beberapa tempat yang menyebut seperti itu. Penyebutan lainnya misalnya panti werdha, senior living, griya lansia, balai pelayanan sosial, atau nursing home. Yah, biasanya namanya makin keren, biayanya juga lebih mahal wkwkwk, tapi fasilitasnya juga bisa lebih lengkap lho. Ada yang menyediakan fasilitas tenaga medis, pemeriksaan medis tiap bulan, spa/salon, karaoke, olahraga bersama, dan kegiatan lain yang biasanya dilakukan bersama sesuai jadwal. Hmm, kayaknya enak itu mah gak bakal bosen setiap hari, malah seru ketemu teman sesama lansia, berbagi cerita masa muda, kesehatan juga terjamin karena dipantau sama perawat. Anak-anak juga bisa tenang karena orangtua tinggal di tempat yang nyaman dan terjamin.
https://widyasty.com
Banyak panti jompo/senior living yang menyediakan perawat untuk semua penghuninya

KISARAN BIAYA TINGGAL DI PANTI JOMPO

Kalau yang pernah saya dengar, senior living di sekitaran wilayah DKI Jakarta tuh ada yang biayanya mulai dari 4juta/bulan sampai puluhan juta juga ada, tergantung fasilitas dan tipe kamar yang dipilih. Makin enak dan banyak fasilitasnya ya makin mahal. Salah satu portal berita yang pernah mengulas biaya beberapa panti jompo bisa dibaca di sini:  Tarif Bulanan Panti Jompo (Mommies Daily).

Kamu tentunya bisa survey di tempat lain yang mungkin biayanya bisa lebih ekonomis dan sesuai dengan kemampuan. Makanya, kalau kita bisa nabung dari masa muda tuh bisa aja kita pilih fasilitas yang nyaman meskipun biayanya agak mahal. Yang pasti jangan malah jadi merepotkan anak dengan minta dibayarkan biaya bulanannya yaa, kecuali anaknya yang menawarkan dan memang mampu tanpa merusak keuangan rumah tangganya sendiri.

SIAPA AJA YANG BUTUH PANTI JOMPO?

Nah, balik lagi ke pernyataan awal saya tadi, bahwa fasilitas ini mungkin bisa dianggap sama Ibu Risma tidak sesuai dengan konsep dan nilai budaya di Indonesia. Tapi, pasti dari puluhan juta orang, tetap ada yang butuh panti jompo kok. Jadi, gak ada salahnya tempat ini tetap bisa disediakan. Kalau bisa malah harusnya tersebar di semua wilayah, gak cuma di kota besar. Banyak juga kan orangtua yang mau menghabiskan masa tua dengan pensiun di daerah terpencil atau desa-desa, tapi tetap butuh fasilitas yang lengkap dan nyaman.

Coba kita hapus satu poin bahwa panti jompo adalah tempat anak "membuang" orangtuanya. Poin lain nya adalah bahwa panti jompo tetap dibutuhkan bagi sebagian orang, seperti misalnya orang-orang berikut:

✔️ Orangtua yang tidak mau tinggal seatap dengan keluarga anak-anaknya;
✔️ Orangtua yang tinggal jauh dari anak-anaknya dan tetap butuh pendamping;
✔️ Orangtua yang ditinggal anaknya meninggal lebih dahulu dan tidak ada keluarga lain;
✔️ Lansia yang tidak mau menikah atau punya anak;
✔️ Lansia yang tidak punya pasangan, atau ditinggal pasangannya meninggal lebih dulu; 
✔️ Lansia yang mau mandiri dan telah menyiapkan masa tuanya sendiri tanpa bantuan anaknya.

Masih banyak alasan lainnya, yang menurut saya gak mengarah ke tujuan atau alasan yang buruk. Memang mereka memilih sendiri dengan sadar bahwa mereka mau tinggal sendiri di tempat yang nyaman, fasilitas lengkap, tetapi tetap ada pendamping yang menjaganya, meskipun bukan anak mereka sendiri. Anak-anaknya pun tetap masih bisa mengunjungi orangtuanya sesekali, bisa menghabiskan waktu dan kangen-kangenan setelah sekian lama gak bertemu. Lagipula, teknologi jaman sekarang udah canggih banget untuk mendekatkan yang jauh. Jadi, meskipun gak tinggal bersama atau di tempat yang berdekatan, komunikasi yang dijaga akan tetap bisa harmonis tanpa merasa ditinggalkan, diabaikan, atau dibuang oleh keluarga.

Semoga juga, orangtua atau lansia yang terpaksa tinggal di panti jompo dengan alasan tertentu seperti kurang diperhatikan oleh keluarganya, bisa tetap bahagia dan mendapatkan kehidupan yang cukup di panti jompo, karena punya tempat/rumah menetap yang bisa menampungnya. Biar bagaimanapun, panti jompo menurut saya masih tetap lebih baik daripada terlantar di jalanan atau berakhir menjadi pengemis tanpa bisa diketahui kabarnya huhu.

OPSI TINGGAL SELAIN PANTI JOMPO

Kalau ada yang tetap gak setuju sama konsep panti jompo, ya gak apa-apa juga kok. Masih banyak opsi lain, karena balik lagi disesuaikan aja sama kondisi keluarga masing-masing. Beberapa pilihan tersebut seperti misalnya:

✔️ Menabung/patungan dengan anak, membangun rumah bertingkat dengan kamar banyak jika anggota keluarganya banyak. Misalnya lantai bawah 1 kamar untuk orangtua, lantai atas 3-4 kamar untuk keluarga anak (tergantung jumlah keluarganya). Keluarga anak bisa tetap punya privasi dengan ruangannya sendiri di lantai atas meskipun tinggal satu atap, karena orangtua tinggal di lantai bawah. Anak bisa tetap menjaga dan memperhatikan kondisi orangtua karena setiap hari bertemu.
✔️ Membangun rumah di samping rumah anak. Tentunya ini bisa dilakukan jika sudah punya tanah yang luasnya setara dengan 2 bangunan rumah berjajar. Rumah orangtua bisa dibuat seminimalis mungkin dengan spesifikasi rumah lansia supaya ketika sudah tua tidak repot, misalnya jangan dibuat bertingkat, memilih WC duduk, lantai tidak licin, ada pegangan di dinding kamar mandi dan kamar untuk membantu berjalan.
✔️ Jika orangtua memilih membangun rumah pensiun di desa dan jauh dari anak, bisa juga memilih opsi mencari pendamping lansia yang mau tinggal bersama orangtua. Konsepnya ya seperti kita menyewa babysitter tapi untuk orangtua. Tentunya tetap butuh pengawasan anak supaya kita yakin bahwa orangtua bisa dijaga oleh orang yang amanah.
https://widyasty.com
Semua orangtua/lansia berhak menentukan hidup yang nyaman bagi mereka sendiri, apapun pilihannya

Semua opsi tersebut bisa disesuaikan lagi aja, mana yang menurut kita lebih baik dibanding opsi lain. Nah, kira-kira ada ide lain gak supaya kita bisa menghabiskan masa tua dengan nyaman selain di panti jompo? Share opini teman-teman di komentar, yuk! 😊
Sewaktu saya kecil, seingat saya orangtua saya gak pernah mengikutsertakan saya ke dalam sebuah lomba atau kompetisi, kecuali saat momen lomba 17 Agustusan di sekitar rumah. Itupun memang hanya untuk seru-seruan aja kaan. Semakin besar, saya gak pernah tertarik ikut kompetisi, lomba, bahkan olimpiade. Selain saya gak percaya diri, saya juga takut gak bisa mengontrol rasa kecewa ketika kalah. Yap, dari dulu saya selalu memikirkan kemungkinan terburuk dari sebuah kejadian, jadi malah lebih banyak takutnya daripada semangatnya. Saya juga gak paham, apakah ini mungkin dampak buruk dari kepasifan orangtua saya sejak saya kecil, atau memang sebenarnya gak ada masalah juga sama hal ini. Tanpa ikut lomba dan tanpa punya piala satu pun di rumah, saya merasa gak ada masalah sama sekali hingga hari ini. Jadi, saya bisa dibilang gak menyesal juga kalau dulu gak pernah ikut kompetisi.

Orangtua saya mungkin bukan orang yang melek terhadap kebutuhan anaknya, selain belajar di sekolah. Mungkin karena dulu saya tinggal bersama Bude, dan orangtua saya sibuk bekerja. Sejak kecil, kesibukan saya hanya sekolah dan mengaji, lalu mulai ikut kelas tambahan dan les saat SMA. Bisa dibilang, saya gak pernah menggali bakat dan potensi, gak pernah mengasah kemampuan, dan gak punya juga keahlian lain karena gak pernah dikenalkan. Saya hanya menemukan minat dan bakat saya di bidang menulis itu waktu di SMP karena gabung di kelompok mading, ternyata saya suka sekali menulis puisi, dan saya menemukannya sendiri tanpa dituntun oleh orangtua. Andai saya bisa balik ke masa lalu dan bisa meminta, pasti udah banyak les yang saya ikuti di luar bidang akademis, seperti berenang, karate, musik, dan lain-lain.

https://widyasty.com

Kini, saat saya punya anak, saya pengin banget bisa menggali bakat anak saya dan mendukungnya. Memfasilitasi semua kebutuhannya. Memberikannya kepuasan untuk belajar hal baru dan hal selain akademis. Bagi saya, semua itu sangat menyenangkan, dan pastinya akan sangat berguna untuknya saat ia beranjak dewasa. Di usianya yang menjelang enam tahun, salah satu bakat Biandul yang sudah sangat terlihat adalah menggambar. Seperti buah yang jatuh gak jauh dari pohon, Ayahnya sangat berhati-hati dalam memenuhi kebutuhan Biandul di bidang seni. Biandul diajak bereksplorasi dalam gambar dan warna, tanpa ada pemisah antara salah dan benar. Kami, sebagai orangtuanya, sangat hati-hati dalam menuntunnya menemukan mimpi dan cita-citanya, apalagi Ayahnya yang memang bekerja di bidang seni rupa, kemudian anaknya terlihat memiliki interest yang sama. Kesempatan ini gak bisa disia-siakan oleh suami saya.

Sampai saat ini, Biandul belum pernah mengikuti les menggambar, jadi semua kemampuannya otodidak di rumah. Sesekali Ayahnya mengajarinya menggambar suatu bentuk, tapi belum dipaksa untuk memahami semua teknik menggambar. Kembali lagi ke topik kempetisi, Biandul pun gak pernah ikut serta dalam perlombaan menggambar dan mewarnai. Dulu, saya gak paham kenapa Ayahnya sangat melarang hal itu. Satu kalimat yang saya ingat, "Menggambar gak bisa dijadikan kompetisi, karena gak ada parameter benar dan salah". Saya gak terlalu paham, tapi saya sedikit setuju dulu.

Satu keresahan mulai menyentuh saya, ketika beberapa orang sering mengajak Biandul untuk ikut lomba menggambar, karena mereka melihat ada bakat besar, dan ini adalah sebuah kesempatan untuknya berlatih dan mengasah kemampuan. Saya tentunya belum bisa menjelaskan kenapa Ayahnya melarang, jadi saya hanya bisa menolak secara halus sambil memberi alasan bahwa ada perbedaan pandangan yang membuat Biandul gak bisa ikut lomba menggambar. Keresahan ini muncul lagi ketika momen 17 Agustus tahun ini mulai bisa kita meriahkan lagi, setelah bertahun-tahun dilarang karena pandemi Covid-19. Inilah tahun pertama Biandul mengenal konsep lomba/kompetisi.

Di sekolahnya, Ia akan berpartisipasi dalam lomba untuk pertama kalinya. Saya excited tapi bingung juga, takut dia gak bisa mengontrol rasa kecewanya kalau kalah, seperti yang Mamanya rasakan waktu kecil. Saya juga agak kuwalahan ternyata menjelaskan kepadanya konsep acara lomba setiap 17 Agustus, momen apa yang sedang kita rayakan, dan mengapa harus ada lomba. Nah, ternyata, Biandul have fun banget ikutan semua lombanya, gak ada rasa kecewa sama sekali waktu kalah, malah kayaknya dia gak paham deh dia tuh menang apa kalah haha, dia taunya cuma ikutan aja. Untungnya semua anak dapat hadiah hiburan meskipun kalah, jadi tetap happy semua tuh. Biandul cuma menang satu lomba aja kategori berkelompok.

https://widyasty.com
Biandul ikut lomba di sekolahnya 17 Agustus kemarin

Selain di sekolah, Biandul diajak lomba juga di rumah, tapi kayaknya energi dia udah habis duluan deh sama kegiatan di sekolahnya selama 3 hari, jadi dia gak tertarik ikutan meski dibujuk Utinya. Saya sendiri sih gak masalah juga kalau dia gak ikutan, dia lebih milih main sama temannya, lari-larian dan main sepeda. Yang penting tetap bersenang-senang. Waktu diajak ikut lomba mewarnai, dia sempat tertarik dan minta izin. Tapi saya bilang kalau mau gambar di rumah aja. Dia langsung mengiyakan dan gak merengek minta ikutan. Saya agak bingung menjelaskan kenapa gak boleh, soalnya Ayahnya lagi gak ada di rumah, dan sebenarnya yang sejak awal menentang kompetisi menggambar/mewarnai tuh ya Ayahnya Biandul ini.

Ketika Mertua saya bertanya kenapa gak boleh ikutan lomba, saya cuma bilang, "Ayahnya pernah ngelarang dulu, Bu. Katanya kalau lombanya mewarnai atau menggambar gak usah. Kalau kenapanya tuh gimana ya, bingung jelasinnya juga." Mulailah keresahan saya mencapai puncaknya. Kenapa ya saya dari dulu iya iya aja dan gak memahami alasannya juga? Kenapa ya saya gak ngotot juga nanya alasan ini ke suami saya dari dulu? Kenapa saya malah bingung sendiri ya sama aturan yang keluarga kami terapkan? Wkwkwk, agak lawak jadinya.

Padahal Utinya Biandul udah pengen nemenin dan daftarin, tapi kebetulan waktunya malam hari. Jadi, saya pakai alasan yang lebih masuk akal pada saat itu, kalau ini udah kemaleman, dan nanti selesainya lewat dari batas jam tidur malam Biandul. Lagipula dia belum makan malam, dan saya baru mau mandi waktu itu. Besoknya juga mau bangun pagi karena Biandul mau ikut pawai sepeda bareng, jadi alasan saya lebih ke waktunya aja yang gak tepat. Bingung juga kenapa lombanya malam-malam ya, padahal untuk kategori anak di bawah 4 tahun katanya.

Setelah itu, saya langsung laporan ke suami saya, "Kita butuh ngobrol. Aku belum benar-benar paham alasan kita ngelarang anak ikut kompetisi gambar, tiap ditanya orang kenapa, aku bingung jelasinnya." Waktu Ayahnya Biandul pulang ke rumah, kita langsung ngobrol. Gak kerasa ternyata kita ngobrol sampai jam 2 pagi, tapi saya langsung paham dan gak bingung lagi sama alasannya.

Suami saya, yang memang menekuni bidang seni rupa, khususnya drawing, merasa sangat bertanggung jawab jika anaknya ternyata punya minat di bidang yang sama. Semua keputusan tentang bakatnya ini harus diambil penuh kebijakan, mengingat dia belajar secara otodidak dan gak sepenuhnya difasilitasi, sehingga rasanya sangat berat merangkak dari bawah hingga sampai di titik saat ini. Ia bisa bekerja di bidang ini, memenuhi nafkah keluarganya dari menggambar, dan dia bekerja sendiri tanpa terikat oleh korporat manapun. Banyak sekali mimpi yang belum diraihnya, dan masih harus dikejar, jadi dia merasa bahwa dia berperan besar dalam membentuk minat Biandul di bidang ini. Mengenalkannya pada kompetisi hanya membuat Biandul merasa gak bisa jadi diri sendiri.

Menurut suami saya, melalui kompetisi, Biandul gak akan bisa menghargai proses dan menerima hasilnya sebagai karakter gambarnya sendiri, karena akan selalu merasa dibandingkan dengan gambar orang lain. Belum lagi dia akan mengejar hasil gambar hanya karena ingin menjadi juara, padahal menjadi juara di kompetisi itu bukan patokan prestasi yang harus diraih. Ia lebih baik mengikuti kelas tambahan khusus menggambar, meskipun kita harus mengeluarkan uang untuk biayanya, tapi diajarkan berbagai macam teknik dan proses menggambar dan mewarnai, daripada harus mengikuti kompetisi dan mengejar hadiah. Belum lagi mengatasi rasa kecewanya saat kalah dalam kompetisi. Ia gak bisa mengembangkan karakter gambarnya karena harus mengikuti standar juri.

Penilaian juri pun gak pernah ada parameternya, poin apa saja yang dinilai dan dipilih untuk menjadi juara, selain selera dari jurinya. Dalam kategori anak-anak, penilaian mungkin hanya berdasarkan kerapian, keindahan bentuk, dan komposisi gambarnya, yang mana itu semua gak pernah ada nilai benar dan salahnya. Apakah ada kompetisi menggambar anak yang dinilai berdasarkan teknik arsiran, kemiripan objek yang digambar, komposisi terang dan gelap, dan proporsi yang sesuai? Apakah juri yang ditunjuk punya keahlian di bidang seni rupa? Jika tidak, maka sebenarnya penilaian tersebut sangat rancu. Jika dibilang "ini kan cuma lomba anak-anak doang", nah jadinya malah makin memperburuk mindset yang dibentuk sejak dini.

Kalau anak-anak tidak diniatkan sejak awal untuk menjadi seniman, mungkin penilaian waktu lomba menggambar gak ada pengaruhnya. Menang ya senang, kalah juga besok udah lupa. Tapi, kalau sudah jadi cita-cita anak sejak kecil dan mau dikembangkan secara serius sampai Ia besar, penilaian dalam kompetisi itu bagaikan bumerang, yang akan menyerang balik ke diri anak itu, dan malah bisa meredupkan minatnya kalau kalah. Padahal untuk bisa menjadi juri atau kurator sebuah karya seni rupa, seseorang harus mengambil pendidikan di jurusan seni rupa. Beda halnya dengan olimpiade sains, yang mana kompetisinya dinilai berdasarkan poin tertinggi yang dapat diperoleh seseorang jika bisa menyelesaikan soal yang diberikan. Setiap soal punya jawaban yang sangat absolut, jika benar ya benar, dan jika salah ya salah. Gak ada perspektif yang berbeda dari setiap juri.

Ayahnya Biandul pernah bilang, bahwa Biandul bisa saja masuk ke sekolah seni kalau sampai besar Ia masih punya minat di bidang seni rupa. Tapi, kita gak pernah mau ikut campur dalam keputusannya karena itu hak penuh Biandul dalam memutuskannya nanti. Biasanya, anak kecil suka menonjolkan minatnya di beberapa bidang, dan akan meninggalkan bidang yang ternyata gak sesuai dengan keinginannya lagi di kemudian hari. Misalnya, waktu kecil sangat suka musik dan orangtuanya mendaftarkan les musik, tapi bisa jadi anaknya lama-lama akan pindah ke bidang lain karena udah gak minat lagi di musik. Setidaknya, orangtuanya sudah memfasilitasi anaknya dengan membiarkannya mengenal minatnya satu per satu. Untuk sekarang, Biandul belum mengambil kelas tambahan menggambar, tapi Ia sedang diajak ikut kelas Muay Thai. Kalau yang ini sih lebih ke kemampuan bela diri, yang saya dan suami yakini sangat berguna untuknya. Lain kali, saya akan tulis tentang kelas ini deh, kalau sudah sempat.

Balik lagi ke kompetisi di bidang seni rupa, menurut suami saya, kreativitas gak bisa semudah itu dinilai dan dipilih untuk jadi juara 1, 2, dan 3. Kreativitas gak punya batas antara benar dan salah. Seseorang yang ingin menjadi seniman, bisa memperdalam teknik menggambar dengan cara belajar dan menempuh pendidikan, bukan dengan kompetisi.

https://widyasty.com
Bian dapat hadiah lomba 17 Agustusan di sekolahnya karena menang lomba berkelompok

Saya pernah baca dari Blognya R.E. Hartanto, bahwa meskipun Beliau (juga) menentang praktek kompetisi atau lomba menggambar, Beliau tetap gak bisa menghapus/melarang kegiatan tersebut, jadi biarkan saja kegiatan tersebut tetap ada dan dilaksanakan. Biarkan anak-anak yang mau berpartisipasi. Kembali lagi ini adalah value keluarga pada masing-masing pola asuh, mau menerapkan yang mana saja itu tidak apa-apa. Tidak ada yang salah atau benar, selama anaknya sendiri juga tidak keberatan atau merasa terpaksa. Kalau anak punya perasaan seperti itu, lalu jadi stres karena tekanan dari keluarga, ini menurut saya sudah termasuk child abuse.

Orangtua yang memaksakan kehendak pada anaknya, tanpa berpikir bahwa anak punya hak memilih atas hidupnya sendiri, termasuk child abuse. Penyebabnya bisa ada pada inner child orangtuanya yang mungkin belum pulih dari luka masa lalu, atau dendam ke diri sendiri karena punya ambisi yang belum kesampaian, sehingga secara gak sadar memaksa anak menjadi apa yang diinginkan. Nah, jangan sampai kita berperilaku seperti itu ke anak yaah.

Apapun pilihan pola asuhmu, berikan yang terbaik untuk anak. Saat anak masih kecil, semua kontrol ada di tangan kita. Tapi, jangan lupa bahwa anak juga bertumbuh. Mereka punya hak juga dalam memilih dan memiliki keinginan dalam hidupnya. Give them some respects! ✨

Ada yang punya opini atau tanggapan lain? Share di komentar ya! 😊
Beberapa hari yang lalu, saya baru aja nonton Najwa Shihab ngobrol dengan beberapa bintang tamu laki-laki di Mata Najwa, ngomongin Susahnya Jadi Perempuan. Tema ini kayaknya gak akan habis dibahas dan diperbincangkan, karena semua orang punya pemikirannya masing-masing mengenai banyaknya stereotype perempuan di Indonesia. Yes, karena stereotype ini sudah dirawat selama puluhan tahun, maka saya paham bahwa gak akan mudah untuk menghapusnya. Kenapa harus dihapus? Ya, karena beberapa poinnya lebih sering memberatkan kaum perempuan. Makanya setiap hari sebagian besar perempuan semakin gencar menyuarakan emansipasi wanita, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia.

Bagi saya, kesetaraan gender sendiri sudah lebih kompleks untuk dibahas, daripada peran perempuan itu sendiri dalam keseharian. Sebanyak dan sekeras apapun suara kita diperdengarkan, akan lebih baik jika kita bisa mulai dari orang terdekat di lingkungan kita, jangan sampai debat kusir di Twitter sama orang yang gak dikenal, haduh energinya abis banyak banget. Malah capek sendiri, karena semua orang akan mempertahankan pendapat yang mereka anggap paling benar.

APA BENAR JADI PEREMPUAN ITU SUSAH?

Balik lagi ke channel YouTube-nya Mbak Najwa. Dalam tayangan tersebut selama kurang lebih satu jam, beberapa stereotype perempuan dibahas dan dikupas habis bersama narasumber untuk memecahkan teori perdebatan yang sering kita dengar. Narasumber itu adalah Onad, Anang, Denny Sumargo, dan Rocky Gerung. Jujur, di awal tayangan saya bertanya, kenapa harus membicarakan topik tentang perempuan dengan narasumber laki-laki?

Sebelumnya, hal yang akhirnya bikin saya ke-trigger untuk menonton tayangan full-nya adalah karena omongan Anang yang menyebut bahwa istri harus tetap tampil cantik saat suami capek pulang kerja, jangan pakai daster bolong. Yah, namanya juga cuma potongan tayangan ya, jadi pikiran kita ke mana-mana dan bawaannya mau ngomel duluan. Jadilah saya nonton aja tayangan full-nya, karena mau tahu apa maksud Anang ngomong kayak gitu. Apalagi judulnya adalah 'Susahnya Jadi Perempuan', akhirnya bikin saya berpikir apakah tuntutan kayak gitu dalam rumah tangga menandakan bahwa jadi perempuan itu memang benar-benar susah?

https://www.youtube.com/results?search_query=najwa+shihab

KUPAS TUNTAS TENTANG STEREOTYPE PEREMPUAN DI INDONESIA

Dari semua stereotype yang masih mendarah daging di Indonesia, salah satu hal yang paling mengganggu saya itu adalah ketika sebuah rumah tangga didasari dengan patriarki, yang mana perempuan selalu diposisikan sebagai yang tunduk dan patuh kepada laki-laki. Untungnya, rumah tangga saya didasari oleh kesetaraan dan kesepakatan, tapi bukan berarti semua rumah tangga bisa se-ideal ini. Saya paham banget masih banyak perempuan yang terjebak dalam rumah tangga yang gak sehat karena patriarki tersebut, dan sulit bagi kita menghapus stereotype itu karena sudah dirawat dan dipertahankan sejak puluhan tahun lalu.

Selain itu, stereotype apa lagi yang dibahas oleh Najwa Shihab dan empat narasumber lainnya? Seperti yang udah saya katakan, kalau saya ke-trigger nonton dari sepotong cuplikan, makanya hal ini juga akan saya breakdown satu per satu, tapi sesuai dengan pandangan pribadi saya ya. Dan mungkin akan jadi tulisan yang agak panjang, semoga gak bosan dibaca sama teman-teman. Kalau memang ada pandangan yang berbeda, just write down on the comment section to let me know, and let's discuss together ☺️

PEREMPUAN YANG BELUM MENIKAH DIANGGAP NEGATIF

Udah bosan dong dengan pertanyaan 'kapan nikah?' setiap ketemu keluarga atau kerabat yang basa-basi? Apalagi kalau udah memasuki usia 25 tahun ke atas, kayaknya kok udah ketuaan banget untuk gak menikah. Tapi, kalau memang ada hal lain yang jadi pertimbangan, atau memang belum ketemu jodohnya, mau gimana dong? Huhu. Masa udah berkelakuan baik di masyarakat, tetap masih dianggap negatif hanya karena belum menikah. SAD BANGET!

Rocky Gerung punya pendapat, bahwa dari sudut pandang patriarki, perempuan yang tidak menikah dan melahirkan dianggap dapat memutuskan generasi. Saya setuju dengan pendapat itu, meskipun sekarang sudah banyak banget perempuan yang lebih memilih untuk childfree. Mengandung dan melahirkan itu hanya bisa dilakukan oleh perempuan karena hal itu adalah kodratnya. Nah, tapi kalau berbicara tentang rentang usia, saya sebenarnya gak setuju kalau perempuan selalu diburu-buru menikah, padahal laki-laki bebas.

Sisi lain tentang permasalahan usia pernikahan dan kehamilan bagi saya adalah, semakin tua seorang perempuan, maka fisiknya pun juga berpengaruh saat sedang merencanakan kehamilan dan kelahiran. Misal, kualitas sel telur dan alat reproduksi di usia 35 tahun pasti akan sangat berbeda dengan usia 25 tahun, dan ini akan memengaruhi kondisi fisik perempuan selama mengandung dan melahirkan. Belum lagi setelah melahirkan, kita masih harus menyusui anak hingga dua tahun, dan bertanggung jawab sampai anak bisa mandiri.

Bagi saya yang memang mau berkeluarga dan memiliki keturunan, saya sejak dulu selalu menghitung usia perkiraan saat hamil dan mengasuh anak. Jika saya baru menikah dan hamil di usia 30 tahun, maka saya harus memiliki fisik yang sehat dan kuat, karena saya harus bertanggung jawab terhadap hidup anak saya hingga Ia berusia 18-20 tahun, yang artinya saya sudah berusia 50 tahun. Nah, kalau saya semakin menunda pernikahan dan kehamilan, maka usia saya sudah termasuk non-produktif lagi saat anak saya belum menyelesaikan usia pendidikannya. Sedangkan kita bisa berencana, tapi kita tetap gak pernah tahu persis bagaimana kondisi dan situasi kita saat nanti memasuki usia non-produktif itu. Makanya, bagi saya usia 25 tahun itu waktu yang tepat untuk menikah dan mulai berencana memiliki anak. Malah dulu saya mau banget nikah muda di umur 20-21 tahun, tapi ternyata masih enak menikmati kehidupan dan pekerjaan, jadi berubah pikiran deh hehe.

Baca juga: Pertimbangan Menunda Anak Kedua

Hal ini akan sangat berbeda dengan perempuan yang ingin menikah tapi gak mau punya anak, atau bahkan ga mau menikah karena mau membangun kehidupannya sendiri, karena pertimbangan mereka pasti berbeda, bukan hanya tentang anak. Jadi, dibalikin lagi aja, usia muda atau tua, kita para perempuan sendiri yang menentukannya sesuai tujuan masing-masing.

PEREMPUAN LEBIH EMOSIONAL, LAKI-LAKI LEBIH LOGIS

Mungkin stereotype ini berhubungan dengan perempuan yang lebih mudah terbawa perasaan dibanding laki-laki. Kadang, para perempuan juga sering banget saling curhat dengan sesama temannya, apalagi kalau lagi patah hati. Kayaknya dramatis banget ceritanya, dan lebih gampang nangis. Sedangkan laki-laki dianggap lebih logis karena tegas dengan keputusan yang sudah dibuat. Segala sesuatunya dipikirkan berdasarkan logika. Tapi, apakah itu semua benar?

Saya hampir setuju dengan stereotype ini, tapi kalau dipikir lebih panjang lagi, bisa jadi karena stereotype ini berhubungan juga dengan laki-laki yang dalam konstruksi sosial dituntut untuk lebih maskulin, jadi gak bisa secara bebas dan leluasa menunjukkan emosinya di depan banyak orang, seperti menangis saat sedih. Mereka langsung dicap cengeng dan gak maskulin. Yah, semacam toxic masculinity gitu lah. Padahal, semua orang berhak menunjukkan perasaan mereka, kan?

Mbak Nana kemudian mengeluarkan data research, bahwa sebagian besar perempuan ternyata akan menghabiskan uang yang mereka dapatkan untuk dialokasikan ke keluarga, rumah tangga, pendidikan anak, kesehatan, dan lain-lain, sedangkan laki-laki lebih banyak menghabiskan uang untuk hobi dan membeli barang. Jadi, dalam hal ini perempuan dianggap lebih logis dan rasional. Kamu sendiri setuju sama pendapat yang mana?

https://www.youtube.com/watch?v=jOfwbj09z1Q&t=2955s


PEREMPUAN TIDAK IDEAL SEBAGAI PEMIMPIN

Perempuan yang tegas dalam melakukan pekerjaannya sering dianggap bossy, perempuan yang punya target dan berusaha mencapainya dianggap ambisius, sedangkan laki-laki gak pernah terikat dengan stereotype ini meskipun mereka bersikap tegas dan ambisius. Di dalam rumah tangga, suami dianggap pemimpin dan biasanya bekerja untuk mencari nafkah, sedangkan istri harus berada di rumah. Bahkan Presiden Indonesia aja lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Kenapa ya?

Padahal, menurut data yang dipaparkan oleh Mbak Nana, organisasi yang dipimpin oleh seorang perempuan lebih maju dan berkembang. Sayangnya, sebanyak apapun data dan kenyataan yang diperlihatkan di lapangan, tetap gak bisa mengubah pola pikir bahwa perempuan tetap dianggap terbatas dan kurang layak dalam hal kepemimpian. 🥺

Denny Sumargo sendiri punya pendapat, bahwa meskipun perempuan bagus dalam hal memimpin, secara fisik mereka tetap perempuan dan dianggap gak bisa turun tangan misal saat ada konflik. Saya anggap berarti Ia masih berpikir bahwa perempuan gak bisa sekuat laki-laki dalam menangani konflik, dan semua sikapnya dalam memimpin jadi sia-sia dong? Huhu. Ia juga menegaskan bahwa laki-laki pasti punya perasaan ingin dominan dalam hal rumah tangga dan takut jika istrinya yang lebih berkuasa. Tapi, agar bisa berjalan selaras, kepemimpinan bisa berjalan dengan cara lain, misalnya istri tetap diperbolehkan at au diberi kesempatan untuk berkuasa dalam salah satu bidang, misalnya mengatur keuangan, bekerja sesuai passion, dll. Padahal, saat istri diberi izin untuk bekerja, tetap balik lagi bahwa keputusan itu didasari atas izin suami, yang artinya di balik kebebasan istri yang bekerja, ada kekuasaan dari suami yang harus memberi izin terlebih dahulu.

Wah wah wah, udah mulai gemes belum nih? Hahaha. Kita lanjut dengan stereotype berikutnya boleh yaaa? Yuk simak lagi sampai selesai.

PEREMPUAN LEBIH DIHARGAI DARI ASPEK PENAMPILAN DARIPADA KEAHLIAN

Kenapa Mbak Nana lebih sering dipuji cantik dibandingkan dipuji dengan keahliannya, setiap kali Ia diperkenalkan dalam sebuah acara? Tentu saja hal itu termasuk pujian, dan kita para perempuan harus senang dengan hal itu, tapi Beliau gak setuju karena seakan-akan penampilan perempuan lebih terlihat menonjol daripada keahliannya. Pertanyaan itu kemudian dijelaskan oleh Rocky Gerung. Ia beranggapan bahwa di dunia media saat ini, kamera dianggap sebagai mata laki-laki, yang lumrahnya menonjolkan konsep estetika, sehingga kecantikan perempuan menjadi pujian yang paling utama sebelum akhirnya menunjukkan keahliannya.

Hal itu membuat saya berpikir, wajar Mbak Nana sebal karena lebih dulu dipuji cantik dibandingkan pintar, karena di Indonesia perempuan harus susah payah membuktikan diri dulu ke dunia untuk dianggap berprestasi, baru mereka bisa dipromosikan, sedangkan laki-laki dianggap lebih mudah. Hal ini sebenarnya bisa mulai diedukasi, jika laki-laki juga mau bekerjasama dalam menghapus stereotype ini. Karena ketidaksetujuan Mbak Nana ini, Anang bersuara bahwa mungkin para perempuan, khususnya Najwa, harus mulai menerima aja apa yang masyarakat berikan, selama itu terdengar positif. Jangan selalu berpikir negatif bahwa dipuji cantik itu salah karena maunya dipuji atas keahliannya. Biarkan aja semua orang menganggap cantik, terima aja pujian itu. Yha, sounds like we have to shut our mouth up and let them judge~

Tapi, sorry banget ya Mas Anang, kalau yang begini aja kita perempuan disuruh diem dan terima, gimana dengan isu-isu lain, apakah harus diam dan terima juga? Padahal banyak perempuan yang juga merasa risih dengan hal ini. Gimana kalau kita pintar, berprestasi, punya banyak skill yang dibangun dari nol, tapi fisik kita gak memenuhi syarat cantiknya orang Indonesia? Ya gak akan dipandang sama siapa-siapa dong, dan berujung seperti apa kata Mbak Nana, bahwa kita jadi harus susah payah membuktikan ke dunia dulu untuk bisa diterima, hanya karena kita belum memenuhi kriteria fisik yang cantik untuk dipuji.

URUSAN DOMESTIK HANYA KEWAJIBAN PEREMPUAN

Kalau dalam agama Islam, katanya urusan domestik sesungguhnya kewajiban suami, dan istri diperbolehkan untuk membantu. Tapi, entah kenapa, semua ini jadi bergeser jauh. Perempuan jadi lebih terkesan wajib mengurusi urusan rumah, lalu laki-laki bebas membangun karier dan punya banyak kegiatan di luar rumah. Perempuan yang bahkan gak bisa masak jadi lebih sering dituntut atau bahkan dicap negatif karena jadi dianggap gak bisa jadi istri dan ibu rumah tangga yang baik. Padahal, skill memasak itu sebenarnya penting dikuasai bagi semua orang untuk survival, gak terbatas gender laki-laki atau perempuan.

Onad sendiri merasa bahwa masalah ini hanya sebuah kesepakatan dan komunikasi dengan pasangan. Selagi pembagian tugasnya disepakati kedua belah pihak, maka gak bisa disebut sebagai masalah. Pun Anang merasa setuju, karena bangun rumah tangga baginya adalah membangun keseimbangan. Mereka mau jika disuruh beberes rumah, cuci piring, gak ada masalah. Sayangnya, kehidupan rumah tangga yang ideal seperti ini kan gak bisa dirasakan semua perempuan. Masih banyak yang terkurung dalam stereotype itu, dan hidup seperti gak punya kesempatan berkembang, karena hidupnya sudah didedikasikan untuk mengurus rumah, suami, dan anak di rumah setiap hari.

Terus cara Anang menjawab dan heran dengan situasi kayak gini malah jadi bikin saya mikir... Anang nih terlalu sibuk menciptakan citra keluarga ideal di depan layar kaca, berharap semua orang menjadikannya sosok suami (dan laki-laki) bijaksana, tapi gak mau buka mata bahwa keluarga orang lain gak kayak keluarga dia. Masih banyak yang terkurung dalam masalah ini, lalu dia heran ngapain yang kayak gini dibahas? Ini kan bukan masalah. "Yeh, bukan masalah buat dia doang kali." ⎯ saya menggerutu.

Mereka, para narasumber selebritis, dengan pedenya berlomba saling menonjolkan sisi baik dalam rumah tangganya, seakan-akan pembahasan ini gak perlu. Istri mereka, para perempuan yang beruntung, karena punya suami yang gak mengurungnya dalam stigma-stigma negatif perempuan. Nah, mulai dari pembahasan ini kayaknya udah mulai berasa banget kalau semua poin yang diangkat oleh Mbak Nana, didapatkan beberapa feedback yang berbeda dari cara mereka menjawab dan melempar opini. Saya menghargai sekali diskusi ini menjadi hidup karena mereka semua punya pendapat yang berbeda, tapi tetap saling membuka pikiran, meskipun lebih sering gak setuju sama pendapat Anang dan gemas lihat Onad terlalu netral dan terkesan cari aman. HEHEHE.

PERENCANAAN KEHAMILAN (KB) DIBEBANKAN PADA PEREMPUAN

Kita semua tahu bahwa dampak KB itu hampir selalu dirasakan negatif oleh perempuan, tapi kita gak punya pilihan lain, karena KB untuk laki-laki belum banyak dikampanyekan di sini bahkan sempat ditolak. Padahal efeknya yang sangat berpengaruh ke hormon lumayan menyiksa kita. Ditambah lagi kalau kita gak melakukan KB, terus kebobolan hamil tanpa direncanakan, yang disalahkan pasti pihak perempuan. That's not FAIR! Bahkan Onad aja mengaku gak pernah tahu KB untuk laki-laki selain kondom 😩 Please banget lah. Lu kan diundang ke acara ini dengan tema yang pasti udah di-brief sebelumnya ya, masa gak ada inisiatif untuk riset dikit sih, kira-kira apa aja masalah yang akan dibahas, supaya pendapatnya gak kedengeran kosong banget gitu loh. Huhu.

Memang benar, KB untuk laki-laki sangat kurang dipromosikan di sini, sehingga terbentuk stigma bahwa yang KB harus pihak perempuan. Ternyata, hal itu didasari dari fakta dan data riset, bahwa industri farmasi sengaja hanya menyediakan KB untuk perempuan. Industri farmasi, yang sebagian besar dikuasai laki-laki, hanya bereksperimen pada hormon perempuan untuk memproduksi KB. Ada juga hubungannya dengan keterbatasan dana untuk menciptakan KB laki-laki.

https://widyasty.com

Fakta lainnya adalah banyak juga laki-laki yang ternyata menolak program KB vasektomi, sehingga KB untuk laki-laki semakin tidak dipromosikan. Nah, jadi kita para perempuan semakin merasa bahwa gak ada pilihan lain selain menggunakan KB. Alat reproduksi kita bahkan diatur negara, karena sasaran KB hanya perempuan. Padahal tahu sendiri kan efek KB tuh kayak apa? Teman-teman saya banyak banget yang ngeluh, mulai dari kenaikan berat badan, jerawatan, sampai jadwal menstruasi yang berantakan.

SEBUAH KESIMPULAN TENTANG SUSAHNYA JADI PEREMPUAN

Bagi saya, memang ada banyak sekali tantangan dan masalah yang dihadapi perempuan, meskipun banyak juga masalah yang dihadapi laki-laki, tapi gak bermaksud membanding-bandingkan, bahwa stigma negatif perempuan lebih melekat dan sulit untuk dihapus. Padahal sudah bertahun-tahun para feminis berteriak menyuarakan emansipasi, kesetaraan gender, dan kemerdekaan bagi perempuan, tapi hasilnya masih belum bisa kita rasakan hari ini. Kita seakan masih hidup dalam tempurung kuasa laki-laki, meskipun banyak yang sudah berusaha untuk keluar dan membebaskan diri.

Dalam pembahasan ini, Mbak Nana mengajak narasumber laki-laki karena ingin tahu bagaimana pendapat mereka, dan mengajak para laki-laki agar bisa lebih memahami permasalahan perempuan di Indonesia, karena ini termasuk permasalahan kompleks yang masih dirasakan sebagian besar perempuan. Tapi, tiga selebritis ini (Anang, Densu, dan Onad) kayaknya malah menjadikan acara ini sebagai ajang show off  bahwa mereka adalah seorang laki-laki yang memerdekakan istri. Mereka gak paham ini masalah kompleks, dan malah lebih sering mengajak kita untuk jangan terlalu berpikir negatif.

Tendensi diskusi ini malah bergeser menjadi "perempuan selalu merasa dirinya korban yang telah ditindas oleh laki-laki, padahal gak seharusnya begitu." Yeeesss, gak seharusnya begitu, dan mereka memang mungkin bukan salah satu dari laki-laki yang menindas perempuan. TAPI KAN LAKI-LAKI DI INDONESIA BUKAN CUMA TIGA ORANG INI AJA. Bahkan di kelas sosial menengah ke bawah, masalah patriarki lebih banyak ditemukan. Mereka malah sibuk cari validasi huhuhu. Untung diskusi ini masih bisa dinetralkan oleh Rocky Gerung, yang memang seorang filsuf dan feminisme. Beliau selalu mengeluarkan pendapat secara tertata dan sesuai dengan kondisi pada umumnya, serta memiliki banyak data sebagai acuan. Mungkin ini yang membedakan Rocky Gerung dan tiga narasumber lainnya dalam mengemukakan pendapat. Beliau tahu kapan saatnya berbicara, kapan saatnya berhenti dan mendengarkan.

Permasalahan tentang perempuan memang mungkin masih ada lebih banyak lagi, dan gak ada habisnya untuk dibahas. Tapi, mungkin kita bisa mulai untuk mengedukasi dari lingkungan terdekat kita, bahwa peran perempuan dan laki-laki itu jangan sampai hanya dibentuk oleh konstruksi sosial saja, tetapi juga berdasarkan moral yang manusiawi. Kadang, perempuan selalu merasa jadi korban yang tersudut karena banyaknya tuntutan sosial, tapi dengan diadakannya diskusi terbuka dan mengikutsertakan laki-laki untuk tukar pikiran, jadi suatu hari semua stigma negatif dan tuntutan untuk perempuan akan semakin hilang.

Nah, berhubung tulisan ini tayang berbarengan dengan International Women's Day yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2023, semoga artikel ini bisa lebih membuka pikiran kita untuk bisa saling menghargai dan hidup berdampingan secara merdeka. Mari rayakan hari spesial ini sebagai hari yang berkesadaran, bahwa semua perubahan bisa dimulai dari diri kita sendiri dulu.

Kalau menurut kamu sendiri, stereotype apa yang masih sangat kuat di lingkungan sekitarmu dan sangat membuat kamu gak nyaman? Ceritain juga dong yuk!

Terima kasih ya sudah membaca tulisan ini sampai akhir. Untuk yang mau menonton tayangannya secara penuh, silakan klik link berikut ya: Susahnya Jadi Perempuan - Part 2 | Mata Najwa

Kamu percaya gak, ada mitos yang banyak dipercaya orang, kalau umur pernikahan tahun ganjil itu katanya rawan dan berat tantangannya?

Saya pribadi baru menginjak tahun ke-7 pernikahan, jadi belum bisa bilang banyak tentang tantangan pernikahan. Tapi, pernikahan yang saya rasakan selama ini punya perbedaan yang cukup signifikan pada 2 kondisi; sebelum dan sesudah memiliki anak.

Pernikahan sebelum memiliki anak sudah pasti akan sangat berbeda. Bahkan, setelah memiliki anak lebih dari dua, kondisi pernikahan pasti juga akan berbeda dibandingkan saat baru memiliki satu anak. Maka, mungkin di situlah letak tantangannya. Bagaimana caranya menjaga "sparks" dengan pasangan setelah memiliki anak?

Saat awal-awal pernikahan, keintiman dan romantisasi sangat mudah dilakukan karena perhatian dan waktu kita belum terbagi untuk mengurus anak. Ada banyak waktu untuk pacaran berdua, melakukan hal-hal menyenangkan, memiliki rutinitas seru bersama, bahkan beberapa masalah rumah tangga belum terlihat, seperti misalnya masalah keuangan, komunikasi dan kerjasama, dan juga tanggung jawab yang lebih besar. Ketika anak pertama sudah mulai lahir, rutinitas dan kegiatan sehari-hari akan berubah. Perhatian istri akan lebih banyak bertujuan untuk kepentingan anak, tanggung jawab suami dalam mencari nafkah akan lebih berat, komunikasi mulai menemukan celah kosong, perdebatan akan semakin sering terjadi, kegiatan yang biasanya dilakukan hanya berdua pun akan terbatas.

Namun, memiliki anak bukan berarti menjadi beban, karena kehadirannya pasti juga membawa banyak kebahagiaan bagi para pasangan suami-istri. Hanya saja, kita harus tetap menjaga hubungan dengan pasangan agar tetap harmonis dan intim, maka pernikahan pun akan langgeng dan tidak pernah merasa bosan atau flat bahkan merenggang.

https://widyasty.com

Untuk menjaga hubungan saya dan suami agar tidak hambar dan membosankan, saya punya lima tips yang selalu kami terapkan di rumah, dan bagi saya hal-hal ini tidak pernah berubah meskipun kami sudah memiliki anak. Semoga juga tidak pernah berubah hingga kami menua bersama.

5 WAYS TO KEEP SPARKS WITH SPOUSE AFTER KID(S)

  1. Deep talk. Sepertinya ini hal paling pertama yang harus saya kasih tahu, karena komunikasi adalah kunci utama dalam menjaga hubungan. Deep talk bisa dilakukan kapan saja sesuai waktu luang kedua belah pihak, tapi biasanya malam hari sebelum tidur. Tanya kabar, apa saja yang terjadi hari ini, apa yang mau dilakukan esok hari, merencanakan kegiatan akhir pekan, atau sekadar curhat apa saja. Pasanganmu adalah teman terbaik yang bisa dipercaya, jadi apapun curhatannya, sebisa mungkin bersedialah untuk mendengarkan dan mencari solusi (jika ada masalah).
  2. Buat jadwal rutinitas. Misalnya, menonton film streaming setiap hari Minggu, makan bersama di luar rumah sebulan sekali, atau bertukar kado setiap ulang tahun. Hal-hal romantis seperti ini tetap bisa dilakukan meskipun sudah punya anak, kan? Saya dan suami biasanya suka streaming film bareng pas anak lagi main atau sudah tidur, meskipun jadwalnya gak regular dan pasti.
  3. Flirt each other. Biasanya yang paling suka tuh kalau love language-nya words of affirmation nih, kayak saya. Wah, bisa melayang sampai ke awan kalau pasangannya udah flirting atau sekadar memuji setiap hari tentang baju yang dipakai atau rasa masakannya, hehe. Buat yang love language-nya physical touch kayak suami saya, flirting sebelum melakukan hubungan seksual akan membuat pasangan merasa dihargai dan diinginkan. Hubungan pun akan semakin erat dan romantis.
  4. Laugh together. I knowwww tidak semua orang humoris dan bisa nge-jokes lucu untuk bikin pasangannya tertawa bareng, tapi setidaknya harus tetap ada suasana yang menghibur, apalagi kalau salah satu dari kita ada yang lagi overwhelmed atau butuh dihibur. Saya dan suami paling suka lempar jokes sampai kita tertawa dan sakit perut, tapi beda kebutuhan. Saat saya badmood, sedih, atau hormon menstruasi lagi kacau, saya butuh dihibur. Sebaliknya, kalau suami lagi overthinking masalah pekerjaan, lebih baik diam dan baru bisa becanda lagi setelah mood-nya membaik.
  5. Saling membuka diri. Tidak ada lagi yang disimpan dalam hati masing-masing, apalagi sampai meledak dan mengungkit masalah yang sudah lama kejadian. Kalau ada yang perlu dikeluhkan tentang hari ini, usahakan semuanya diselesaikan langsung. Nah, biasanya hal kayak gini juga dibicarakan saat deep talk. Saya dan suami selalu berusaha membicarakan apapun, baik itu masalah keluarga, teman, pekerjaan, dan hal lainnya, termasuk jika ada mantan pacar atau rekanan perempuan yang berkontak intens dengannya, sehingga tidak ada kecurigaan yang ditimbulkan.
Mungkin perlu tahu: Rekomendasi Short Animated Film di Netflix

Kembali ke soal tantangan pernikahan di tahun ganjil, saya sih gak percaya dan gak pernah ketemu juga tentang info yang valid, karena ya mungkin memang hanya dianggap mitos saja. Saya sendiri merasa tahun pertama dan ketiga pernikahan masih berjalan normal, jarang berantem heboh (aamiin), bahkan di tahun kelima saya dan suami malah makin lengket. Saya makin clingy dan manja ke suami, maunya nempeeeel mulu dan gak bisa jauh-jauh. Untung aja suami saya kerjanya di rumah hahaha. Jadi, tetep bisa ketemu, disempetin ngobrol, dan makan bareng di sela-sela waktu kerjanya.

Meskipun kebutuhan dan kepentingan anak itu paling penting, jangan lupa juga bahwa pasangan tetap butuh perhatian sama seperti sewaktu masih pacaran atau belum punya anak. Perlakuan yang sama ini akan membuat pasangan merasa bahwa kehadirannya masih tetap penting dan berarti, bukan hanya menjadi pasangan yang saling sibuk sendiri-sendiri dan lupa sama kebutuhan akan kasih sayang. Apalagi jadi jarang berbagi cerita, kebanyakan diam dan memendam sendiri, nanti sekalinya keluar malah meledak dan bikin suasana jadi serba salah dan susah.

Baca juga: Masalah Pernikahan yang Paling Sering Dikeluhkan

https://widyasty.com
Bonus foto keluarga waktu kita liburan ke Bandung, Biandul masih umur 3 tahun hehe

Kalau kamu sendiri punya cara gimana untuk menjaga keromantisan dengan pasangan saat udah punya anak? Share juga dong, apalagi kalau udah punya anak lebih dari satu. Kayaknya akan ada banyak orang yang butuh tips-nya nih! 😊
Ibu,
Mengaku lelah itu, tak apa. Mengeluh itu, tak dosa. Menjadi ibu memang bukan tugas mudah, tapi sudah pasti mulia. Maka dari itu, Tuhan meletakkan janji surga di bawah telapak kaki kita. Tapi, bukankah kita juga manusia?

Ibu,
Bersandarlah sejenak, di atas tumpukan bantal lunak. Lupakan sejenak jumlah helai baju yang belum dicuci. Lupakan sejenak bau lemak minyak yang menempel di piring sisa makan tadi pagi. Ibu juga butuh ketenangan hati. Tataplah mata anakmu yang merindukan waktu main bersama.

Ibu,
Menjadi manusia serba bisa memang terasa hebat, tapi mengalah sebentar itu tidak salah. Mari beri ruang sejenak untuk kepala melunak dari kerasnya pikiran-pikiran tentang hari esok, serta masa depan anak. Mari beri tubuh angin sejuk agar keringat yang menetes bukanlah sebuah hal yang sia-sia. Ibu tetap terbaik, di mata anak-anak. Ibu tetap terbaik, meski dalam keadaan yang paling lemah sekalipun.

Karena penghargaan terbesar untuk seorang Ibu adalah...

pelukan.


Mari minta pelukan ke orang-orang terkasih. Keluhkan semua meski hanya dengan sebuah tangis. Mereka yang peduli, akan membuka dada dan menyambut dengan cinta.
Older Posts Home

SEARCH THIS BLOG

ARCHIVE

  • ▼  2025 (2)
    • ▼  April 2025 (1)
      • 4 Tips Sebelum Membeli Baju Busui Friendly
    • ►  January 2025 (1)
  • ►  2024 (7)
    • ►  August 2024 (1)
    • ►  July 2024 (1)
    • ►  June 2024 (3)
    • ►  May 2024 (1)
    • ►  April 2024 (1)
  • ►  2023 (11)
    • ►  October 2023 (1)
    • ►  August 2023 (2)
    • ►  July 2023 (2)
    • ►  April 2023 (1)
    • ►  March 2023 (1)
    • ►  February 2023 (1)
    • ►  January 2023 (3)
  • ►  2022 (16)
    • ►  December 2022 (3)
    • ►  August 2022 (1)
    • ►  July 2022 (1)
    • ►  June 2022 (4)
    • ►  May 2022 (1)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  March 2022 (3)
    • ►  February 2022 (1)
    • ►  January 2022 (1)
  • ►  2021 (50)
    • ►  December 2021 (3)
    • ►  November 2021 (4)
    • ►  October 2021 (8)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  August 2021 (3)
    • ►  July 2021 (5)
    • ►  June 2021 (5)
    • ►  May 2021 (5)
    • ►  April 2021 (5)
    • ►  March 2021 (4)
    • ►  February 2021 (2)
  • ►  2020 (1)
    • ►  September 2020 (1)
  • ►  2019 (7)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  June 2019 (1)
    • ►  May 2019 (2)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (7)
    • ►  July 2018 (1)
    • ►  February 2018 (5)
    • ►  January 2018 (1)
  • ►  2017 (9)
    • ►  July 2017 (5)
    • ►  June 2017 (1)
    • ►  May 2017 (3)

COMMUNITY

BloggerHub Indonesia BloggerHub merupakan komunitas yang menaungi blogger di seluruh Indonesia. Siapapun kamu yang memiliki blog dan aktif dalam dunia ngeblog, dapat bergabung dengan BloggerHub dan mantapkan ilmu blogging-mu di sini.
Mothers on Mission MoM Academy adalah komunitas binaan langsung di bawah Mothers on Mission. Dengan memiliki misi “Mom harus pintar, bahagia dan produktif”, MoM Academy berkembang dengan begitu pesat. Saat ini sudah memiliki pengurus di 6 regional: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Special Regional (Campuran dari luar kota) yang tergabung dalam komunitas WA Group.
Powered by Blogger.
Kumpulan Emak2 Blogger Grup ini dibuat untuk menjalin persahabatan & memfasilitasi semua perempuan yang suka nulis, ngeblog atau sekedar curhat online di media sosial, untuk saling memberikan inspirasi, berbagi karya dan ide-ide positif, sehingga bisa menjadikan tulisannya sebuah karya yang bermanfaat.
Beautynesia Beautynesia is part of Detik Network media portal. 4 years already Beautynesia have became one of the fastest growing Indonesian female media start up. We are now at 30 millions view and continue to grow, our mission is to support Indonesia Female market

ABOUT AUTHOR

Widyanti Asty Hello! Welcome to my site. Please take a seat and enjoy reading. Click HERE to know more about me.

CATEGORIES

PARENTING & FAMILY
PERSONAL STORIES
BEAUTY & SELFCARE
LIFESTYLE
PREGNANCY DIARY
REVIEW
ADVERTORIAL
OPINIONS

GET IN TOUCH

INFORMATION

ABOUT ME
CONTACT ME
MEDIA KIT

Copyright © 2016 Widyanti Asty | Parenting Blogger Indonesia. Created by OddThemes