Tahun 2017 lalu, saya pernah membuat tulisan tentang pernikahan saya, yang surprisingly, ternyata mendapat atensi yang luar biasa dan gak disangka-sangka. Page views-nya saya dapatkan secara organik, hanya modal share ke media sosial aja lalu tiba-tiba tiap tahun makin banyak yang baca dan tanya-tanya di komentar tentang hal itu. Kaget sih, karena tulisan saya yang lainnya gak ada yang seheboh itu. Apalagi dulu blog saya isinya benar-benar cuma tulisan iseng aja. Belum diurus dengan fokus dan gak diberdayakan untuk dapat penghasilan. Gak kayak sekarang yang udah benar-benar serius dan fokus dikembangkan.
Terus... emang apa sih isi tulisannya, kok bisa sampai ramai pengunjung begitu? Hm.. jadi, temanya adalah pernikahan yang saya gelar di akhir tahun 2016, dan yang bikin menarik adalah pernikahan saya dilaksanakan tanpa resepsi. Dulu, saya pikir, semua orang yang mau menikah pasti punya list kebutuhan apa aja dan tinggal cari vendor-nya aja di website-website wedding organizer yang sudah banyak tersedia sekarang. Pusing karena banyak yang diurus tapi udah tahu harus ngapain aja. Tapiii, gimana kalau ada yang mau nikah tanpa resepsi? Terus, harus ngapain aja dong setelah akad? Bingung kan? Clueless kan? Dari pemikiran itulah makanya saya tulis semua rinciannya di blog supaya bisa membantu pembaca yang memiliki rencana serupa, tapi bingung harus siapin apa aja.
Baca dulu tulisannya di sini: Nikah Tanpa Resepsi, Bisa?
NIKAH TANPA RESEPSI
Konsep ini memang terdengar sederhana, tapi tetap aja bikin pusing karena bingung harus mempersiapkan apa aja. Tapi, nilai tambahnya adalah kita jadi hanya berpusing-pusing selama 1-2 bulan aja, lalu semuanya selesai. Gak perlu rebutan sewa gedung dan bentrok sama tanggal nikah, dan yang paling penting adalah gak butuh modal sebesar pergelaran pesta resepsi HEHEHE.
Lalu, apa aja dong yang bikin bingung?
Banyak juga, tapi tetap bisa diatasi. Kalau pengalaman saya pribadi, beberapa hal yang paling menyita pikiran dan emosi di antaranya adalah: diskusi ke orangtua tentang pilihan nikah tanpa resepsi, diskusi mencari tanggal baik untuk pernikahan, dan cara mengkomunikasikan ke orang-orang tentang acara pernikahan tanpa membuat mereka tersinggung karena gak ada undangan.
Sebenarnya pusing-pusing yang lainnya juga masih banyak lagi tapi masih terbilang receh lah ya kalau bagi saya hahaha, karena ngurus baju, make up, dan masak perjamuan itu lebih capek fisik aja sih gak sampai mengganggu pikiran gitu dan bikin susah tidur. Kali ini, saya cuma mau bahas tentang cara diskusi ke orangtua tentang pilihan nikah tanpa resepsi.
Pertama kali suami saya mengajak nikah, dia udah bilang dari awal kalau dia gak suka harus diadakan acara besar. Dia gak suka dipajang seharian sampai capek dan ketemu sama tamu undangan yang mungkin banyak gak dikenal, karena kan tamu undangan resepsi biasanya gak cuma dari teman dan kerabat pengantin aja, tapi juga ada tamu dari kedua belah pihak orangtua, yang pasti kita gak akan kenal dong. Menurutnya, itu cuma buang-buang uang dan waktu aja. Saya langsung sepakat.
Meskipun begitu, saya sempat pernah punya impian menikah dengan konsep pesta intimate garden, yang mana tamunya cuma sedikit dan pestanya cuma beberapa jam aja secara casual di tempat terbuka. Tapi, akhirnya diurungkan setelah tahu bahwa biayanya gede juga (dulu mikirnya kirain tamu sedikit ya biaya juga akan sedikit haha). Karena setelah saya diam-diam riset, venue nikah dengan tema outdoor itu kebanyakan jauh dari rumah, yang mana jadinya lebih ribet, dan butuh lighting tambahan jika pestanya malam hari sehingga juga bikin budget bertambah, dan masih banyak hal lain yang setelah saya tahu, saya cuma bisa bilang, "AH UDAH LAH GAK USAH PESTA-PESTAAN AJA." Wkwk anaknya gampang pundung 🤣🤣
Setelah kita berdua sepakat (karena yang paling penting adalah kita sepakat dan sepaham dulu sama pasangan sebelum akhirnya dikomunikasikan ke pihak lain), kita berdua saling memberi tahu orangtua masing-masing. Kalau gak ada masalah dan bisa langsung dilaksanakan, barulah pihak keluarga pasangan datang ke rumah untuk bertemu keluarga saya.
RESPON ORANGTUA SAYA TENTANG NIKAH TANPA RESEPSI
"Bu, nanti Asty nikahnya gak mau pakai resepsi ya."
"Lha, terus?"
"Ya, akad aja di KUA."
"Emang kenapa?"
"Males ah, capek pasti. Terus kan duitnya gak ada hahaha." (Jujur aja laahhh, emang kita udah mau nikah tapi cuma punya uang sedikit dan gak mau ngebebanin orangtua).
"Emang pihak Tian gak siapin uang?"
"Mana sempet, orang minta nikahnya aja cepet-cepet. Biar gak kelamaan dan ribet ngurus-ngurusnya."
"Bener juga. Yang ngurus acara kan pihak cewek. Yaudah lah, kebeneran Ibu jadi gak usah repot."
"YES!"
Case closed! Segampang ituuu hahaha. Ibu saya termasuk yang "terserah anaknya" tiap mau menentukan apa-apa. Saya dikontrol orangtua hanya sampai tamat SMA. Selebihnya, semua diserahkan ke pilihan saya sendiri selama saya bisa tanggung jawab sampai seterusnya, mulai dari pilih jurusan kuliah, pilih kampus, pilih pekerjaan, sampai pilih pasangan hidup.
Pun termasuk memilih untuk nikah tanpa resepsi, saya gak boleh menyesal setelahnya lalu ngedumel karena minta pesta, yang nantinya malah jadi bikin repot suami. Sampai sekarang pun saya gak menyesal sama sekali. Cuma satu yang pengin saya ulang: photoshoot nikahan! 🤣
RESPON ORANGTUA TIAN TENTANG NIKAH TANPA RESEPSI
Nah, orangtua dari pihak suami saya beda lagi ceritanya. Saya gak tahu pasti gimana cara Tian bilang ke orangtuanya, dan apa respon langsungnya. Tapi, ketika pihak keluarga Tian datang ke rumah saya untuk meminta restu dan melamar saya, bahkan sampai saya udah menikah pun, saya masih terus ditawari untuk mengadakan resepsi susulan. Saya dan Tian masih bersikeras menolak dengan sopan karena resepsi susulan itu justru repotnya makin banyak. Ditambah lagi, saya positif hamil di bulan kedua setelah menikah, makin jadi alasan untuk gak melakukan resepsi susulan. Belum lagi salah satu saudara Tian sampai bertanya-tanya, "Ada apa nih, kok buru-buru banget?" dikiranya saya hamil duluan makanya menggelar pernikahan cepat-cepat haha.
Bahkan, sampai tahun 2018, saat adiknya Tian menikah, saya masih ditawari untuk ikut didandani sebagai pengantin dan dipajang bareng. Ya, saya jelas gak mau. Anak saya masih berumur 11 bulan, dan ini acara adik ipar saya, jadi sungkan banget rasanya kalau saya harus "numpang dipajang". Setelah itu, mereka pasrah dan gak membujuk kami lagi. Sebagai gantinya, karena anak mertua saya cuma dua, pernikahan adik ipar saya jadi pesta pernikahan sekaligus menjadi hajat terbesar mereka yang pertama dan terakhir. Pesta pernikahan itu digelar di rumah, dengan adat Jawa dan musik-musik keroncong kesukaan bapak mertua. Mereka harus bahagia dan puas di resepsi anak terakhirnya, karena itulah satu-satunya momen mereka bisa menggelar pesta pernikahan anaknya, setelah anak pertamanya menolak untuk diadakan resepsi.
Saya ingat diberi pesan sama ibu mertua sebelum adik ipar saya menikah, "kamu gak iri kan karena Sely nikahnya pakai resepsi? Gak apa-apa, kan?"
Saya jawab, "Gak apa-apa banget, Bu. Kan yang minta nikah gak pakai resepsi kita sendiri. Gak ada rasa iri-irian, kokk." Gemes banget ibu mertuakuuu 🥰
MEMBUAT KESEPAKATAN DENGAN KELUARGA
Case di keluarga saya dan suami kebetulan gak terlalu ruwet saat memilih untuk nikah tanpa resepsi. Meskipun dari pihak bapak mertua masih kental dengan adat Jawa, tapi mereka akhirnya gak memaksakan kehendak mereka karena paham bahwa anaknya juga punya pilihan yang harus dihormati. Akan beda kondisinya jika salah satu keluarga masih sangat kolot dan berpendirian kuat bahwa acara pernikahan anaknya adalah acara orangtua, dan anak wajib manut aja dengan keputusan orangtua. Meski begitu, kita sebagai calon pengantin harus mencari jalan keluar agar semua pihak bisa saling merasa terpenuhi keinginannya.
Coba dengan mulai berkomunikasi dengan kepala dingin. Kumpulkan banyak berita sekaligus alasan yang paling masuk akal tentang pilihanmu untuk nikah tanpa resepsi. Jelaskan kenapa kamu gak suka mengadakan resepsi. Tanyakan kepada orangtua, apakah ada permintaan lain untuk menggantikan pelaksanaan resepsi, seperti misalnya mengadakan pengajian yang semua tamunya berasal dari teman-teman orangtua sehari sebelum atau setelah akad nikah, atau mengumpulkan keluarga besar dan bikin party kecil di rumah/villa sambil bbq, atau ide-ide lainnya yang membuat orangtua merasa tetap dihargai keinginannya. Biasanya, orangtua ingin resepsi karena supaya bisa mengundang teman dan kerabatnya dan mengabarkan bahwa anaknya sudah menikah.
Kalau pihak orangtua masih gak mau kalah dan tetap minta diadakan resepsi, yaudah tantangin aja. Ada budget-nya gak untuk diadakan di gedung atau venue lain di luar rumah? Supaya resepsinya cuma dilaksanakan maksimal 3 jam aja setelah itu selesai dan pulang. Kalau resepsi di rumah biasanya akan sampai malam dan pengantin yang ngerasain paling capek dipajang seharian dengan make up tebal dan kostum super ribet dan gerah. Juga, pastikan semua tema pesta sampai gaun/kebaya yang digunakan sepenuhnya sesuai dengan keinginan calon pengantin. Dengan begitu, semua pihak merasa keinginannya terpenuhi dan gak ada yang merasa terpaksa lalu jadi keributan.
Hmm... sebenarnya topik ini tuh bisa panjang banget kalau dibahas semuanya. Tapi, setidaknya poin-poin di atas itu yang paling kepikiran di kepala saya untuk dibahas, berhubung masih banyak juga komentar yang masuk dan menanyakan ke saya gimana caranya supaya bisa dapat sepakat dengan orangtua. Cara komunikasi ke orangtua adalah hal yang sangat pribadi dan pasti berbeda-beda satu sama lain, tapi yang pasti, semua harus dibicarakan dengan nada santai, kepala dingin, dan pikiran terbuka. Meskipun acara ini adalah acara calon pengantin, tapi kebanyakan orangtua tetap masih merasa perlu ikut ambil peran.
Saya jadi penasaran, Biandul kalau udah dewasa dan mau nikah nanti, bakal minta acara yang kayak gimana ya? Apakah saya bisa langsung setuju dan menyerahkan sepenuhnya, atau bahkan masih meninggikan ego untuk ikut mengatur pilihannya? Hmm...