Widyanti Asty | Parenting Blogger Indonesia
  • • Home
  • • About Me
  • • Personal Stories
  • • Parenting Diary
  • • Advertorial
  • • Contact Me
Kalau kamu mendengar kata "congkak", pasti hal pertama yang dipikirkan adalah sebuah sifat jelek yang harus dihindari. Memang, definisinya sudah jelas, bahwa congkak itu sama dengan angkuh dan sombong. Siapa, sih, yang suka dengan sifat kayak gitu? Ih, orang sombong, mah, jauh-jauh aja deh. Annoying!

Hmm... hmm... tapi, tunggu dulu.
Kalau congkak bisa punya arti negatif kayak gitu, coba deh kita posisikan ke hal lain, supaya sasarannya jadi lebih tepat. Maksudnya?
Yap, ada loh, tempat congkak yang gak bikin kita jadi annoying.

https://widyasty.com

SEBUAH RUANG KOMUNITAS

Ketika kamu berada di dalam satu lingkungan komunitas yang sesuai dengan minat, kamu pasti akan merasa bahwa semua hal yang dilakukan bersama itu sangat menyenangkan. Misalnya, kamu suka makeup dan skincare, kamu akan sangat semangat untuk saling berbagi info menarik dan diskon. Begitu pun kalau kamu suka memasak, fotografi, bahkan menulis. Dalam hal ini, sudah setahun belakangan saya mulai masuk ke beberapa komunitas menulis dan blogging.

Komunitas itu ternyata membuat saya terdorong untuk lebih produktif, lebih mengenal sejauh mana bakat saya bisa diasah, seberapa besar niat saya untuk mengembangkan diri, sampai di mana komitmen saya bisa dipertanggungjawabkan. Nah, ternyata, saya melangkah jauh sekali dari apa yang pernah saya perkirakan.

Dulu, saya pernah masuk ke komunitas puisi, sering menulis puisi dan membaca (lalu me-review) buku puisi, namun setelah menikah dan memiliki anak, saya merasa kehilangan diri saya yang dulu. Gak ada lagi desire untuk melakukan hal-hal yang saya suka seperti dulu. Gak ada lagi waktu untuk memikirkan hal lain, karena ketika ada waktu kosong, saya lebih butuh istirahat. Saya lebih butuh menenangkan pikiran, karena mengasuh anak ternyata cukup melelahkan mental dan fisik.

Baca juga: Mengeluhlah, Ibu. Sebentar Saja

https://widyasty
Naik panggung ASEAN LitFest 2015 bareng komunitas Malam Puisi Jakarta

Tiga tahun kemudian, setelah Biandul sudah mulai bisa mandiri dalam melakukan beberapa hal, saya mulai menata ulang diri saya lagi. Melihat berbagai kesempatan, tidak menyia-nyiakan waktu luang yang sejak kemarin terhalang banyak hal. Saya mulai melakukan satu per satu hal yang saya suka, menjahit, memasak, membaca buku, menulis, menonton film. Ah, indahnya dunia ini bila kita bisa menyenangkan diri sendiri.

Hal ini pula yang akhirnya membuat saya merasa ingin menunda memiliki anak kedua, karena momen saya mengembangkan diri seperti sekarang ini, masih ingin saya nikmati.

Baca tulisan lengkap tentang itu di sini: Menunda Anak Kedua Demi Perencanaan Keluarga yang Baik

THE PASSION IS NEVER GONE

Setelah membulatkan niat, barulah saya mulai serius menekuni bidang yang saya suka sejak dulu. Menulis. Yap, membeli domain, mengisi blog dengan artikel baru, mengedit beberapa tulisan lama, belajar tentang blogging, Google Analytic, SEO, ikut webinar, kelas menulis gratis, join komunitas, dan mulai mencari klien yang mau bekerjasama. Wah, menyenangkan sekali bisa mengisi waktu luang seperti ini lagi. Bahagia sekali bisa meng-charge energi dengan hal yang disukai seperti dulu, bahkan lebih proper.

Kemudian, bertemulah saya dengan beberapa komunitas Blogger, di antaranya adalah BloggerHub, Komunitas ISB, dan 1 Minggu 1 Cerita. Nah, di sinilah, saya punya banyak pembaca baru bagi blog saya yang telah lama vakum ini.

TENTANG 1 MINGGU 1 CERITA

Platform ini menuntut kita untuk terus produktif dan konsisten dalam hal menulis. Mereka punya website dengan sistem yang saaaangat rapi, mudah digunakan, dan punya banyak peluang untuk dibaca oleh lebih banyak orang lagi. Akhirnya, saya join. Berusaha berkomitmen dengan diri sendiri, "satu post per minggu sih gak susah, ya?" Seharusnya tidak. Tapi, isi blog saya gak mungkin semua hanya untuk 1M1C aja, kan? Akhirnya, saya harus membuat skejul posting, yang mana saya menentukan sendiri, bahwa saya harus bisa menulis minimal dua artikel per minggu.

Setelah kita menjadi member 1M1C, kita wajib setor minimal satu post per minggu di website 1M1C. Kita juga bisa tahu berapa lama kita join, berapa tulisan yang sudah kita setor, dan berapa kali kita bolos. Yap, kita diberi kesempatan maksimal enam kali bolos (selama total enam minggu) berturut-turut, lalu admin akan dengan tega meng-kick kita sebagai member. Tentunya kita bisa daftar lagi. Jahat tapi baik, ya 🥲

CONGKAK DI 1M1C

Nahhhhhh, ini yang daritadi saya bilang, bahwa congkak di tempat yang tepat akan jadi hal yang baik. Meskipun memiliki arti sombong, tapi di 1M1C, kita memang wajib sombong saat berhasil menyetor tulisan, atau sekadar berbagi tulisan yang baru selesai ditulis.

"Izin congkak, Admin!"

"Pagii! Mau congkak dulu ah, sambil sarapan."

"Akhirnya berhasil congkak di detik terakhir deadline. Gak jadi bolos, deh."

Begitu kata mereka yang sering congkak tulisan di grup WhatsApp 1M1C. Betapa bahagianya kita bila bisa congkak dengan mereka, lalu gak akan ada yang sinis karena kita semua memang congkaakk! Hahaha. Ketika pertama kali saya tahu, bahwa mereka mengganti istilah "share tulisan" sebagai "congkak", saya merasa di sinilah kita sebagai manusia dengan segala perbedaan dan satu hal yang menyatukan adalah sifat congkak.

Padahaaaal........ orang lain sih akan mengartikan congkak sebagai sifat negatif, seperti definisi yang sesungguhnya dalam KBBI, hehehe.

https://widyasty.com

Bulan ini, saya sudah bergabung selama lima bulan. Tulisan ini adalah tulisan setoran minggu ini, yang kebetulan diberikan tema "Congkak". Yap, tiap minggu pertama di awal bulan, tulisan yang disetor harus sesuai dengan tema yang ditentukan. Sisanya, kita bisa menulis apapun sebebasnya. Bulan lalu, saya sudah bolos 5 minggu, lalu akhirnya setor sebelum minggu ke-6 berakhir supaya minggu depannya gak di-kick admin.

https://www.1minggu1cerita.id/

Selain itu, mereka juga membaca semua tulisan setoran dan menentukan beberapa nominasi tulisan terbaik, lalu mengajak semua member untuk ikut voting dan menentukan satu tulisan yang terpilih menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Kadang, ada hadiah juga yang mereka berikan untuk tulisan terbaik. Itulah reward yang kita dapatkan, kadang jadi bonus aja sih, sisanya lebih karena merasa dapat support yang bikin kita lebih semangat lagi.

Beberapa waktu lalu, salah satu tulisan saya pernah masuk jadi nominasi tulisan terbaik. Meskipun belum menang vote, tapi saya udah seneng banget rasanya karena pertama kali masuk nominasi. Ini sama aja jadi pacuan bahwa saya bisa menulis dan setor tulisan lebih baik lagi di minggu-minggu berikutnya.

View this post on Instagram

A post shared by 1 Minggu 1 Cerita (@1minggu1cerita)


Next time, saya cerita-cerita lagi ya tentang komunitas menulis/blogging lainnya yang saya ikuti juga. Seru banget karena kita jadi punya banyak koneksi dan teman baru, dan yang paling seru lagi, saya jadi bisa dapat job kecil-kecilan dari komunitas-komunitas ini. Kadang dapat job review, tulis artikel, content placement, semua ini belum terbayang sama saya tahun lalu, sebelum saya mulai serius memikirkan ini semua.

Selain saling share tulisan dan dapat job, satu hal lain yang kita bisa dapatkan adalah share ilmu sebagai Blogger. Banyak hal yang kita bahas bersama dan saling tanya jawab dengan yang lebih berpengalaman, misalnya tentang Adsense, SEO, settingan template blog, cara menyelesaikan masalah teknikal, sharing rumus kode HTML, dan banyak lagi lainnya.

Sekarang, hal paling utama yang harus saya pertahankan adalah konsisten dan terus belajar, karena masih banyak hal-hal error yang saya gak paham, karena belajar secara otodidak semua. Dan ini bikin saya jadi penasaran, ternyata masih banyak banget hal yang saya belum tahu.

Saya gak bisa jadi orang sombong dan ngerasa paling pintar hanya karena saya udah bisa urus blog sendiri. Tapi, saya udah bisa jadi orang congkak karena di komunitas 1M1C, congkak itu haruuss! 🤣
Pernah gak sih kepikiran masa tua kita nanti akan kayak apa? Apakah masih tinggal sama anak dan cucu, atau berdua suami aja di hari tua, atau malah masuk ke panti werdha/senior living? Ets, jangan salah. Panti werdha tuh sekarang udah banyak yang bagus dan nyaman, lho. Saya pernah banget sih kepikiran tentang ini, saat orang lain mungkin lebih banyak yang ingin tinggal bersama anak mereka hingga tutup usia. Banyak alasan yang melatarbelakangi keinginan saya untuk menghabiskan masa tua di panti werdha/panti jompo. Tapi, sebelum memutuskan itu, saya dan suami juga pasti punya prioritas cita-cita/impian masa tua kita berdua. Kita memang merencanakannya, tapi dalam prosesnya ternyata gak mudah. Ada beberapa aspek dan kemungkinan lain yang membawa saya pada banyak pilihan untuk menghabiskan masa tua. Makanya, saya kayak mikirin rencana lainnya yang mungkin akan jadi opsi untuk masa tua saya, dan panti werdha/senior living yang nyaman adalah salah satu yang menarik perhatian saya.

https://widyasty.com


MEMUTUSKAN GENERASI SANDWICH 

Saya pernah tahu rasanya menjadi generasi sandwich; generasi yang memiliki tuntutan untuk menjadi tulang punggung keluarga, menafkahi seluruh anggota keluarga, dan akhirnya jadi terpaksa harus merelakan banyak mimpi yang tertunda atau bahkan mungkin gak sanggup dicapai karena memiliki beban ini. Orangtua yang tidak memiliki dana pensiun atau bekal di masa tua, kemungkinan besar akan bergantung pada kemampuan anaknya yang masih sanggup mencari nafkah. Pada akhirnya, si anak jadi harus membagi pendapatannya untuk dirinya sendiri dan juga keluarga. Belum lagi jika si anak sudah menikah. Ia jadi memiliki dua tanggung jawab besar yang akan selalu membayangi hidupnya.

Sumber artikel dari Tirto

Ketika ayah dan ibu saya memutuskan untuk berpisah saat saya lulus kuliah, saya adalah satu-satunya orang yang bekerja dan harus memenuhi kebutuhan ibu saya sehari-hari. Menabung jadi terasa sangat sulit. Apalagi dengan lifestyle yang dulu membuat pengeluaran juga bengkak. Sampai akhirnya, saat saya memutuskan untuk menikah dan punya anak, saya masih terus khawatir dengan kehidupan ibu saya yang kini sendirian, karena saya anak tunggal. Gak disangka-sangka, ibu saya melangsungkan pernikahan keduanya saat anak saya belum lahir. Ini adalah sebuah kondisi di mana saya lumayan bisa bernapas lega, karena saya merasa terbantu oleh tanggung jawab suami baru dari ibu saya. Meskipun saya masih sering memberi uang untuk ibu saya, tapi kebutuhan itu tidak sepenuhnya dibebankan hanya kepada saya sendiri. Apalagi kebutuhan anak akan sangat besar ketika sudah lahir. Ini adalah rencana Tuhan yang gak disangka, ya. Kayak kekhawatiran apapun tuh semua sudah ada jawabannya di waktu yang tepat hehe. 

Saya gak mau Biandul merasakan beban yang sama ketika ia dewasa nanti. Saya gak mau hidup hanya bergantung dari penghasilan anak ketika saya udah memasuki usia non produktif dan tidak mampu lagi bekerja dan menghasilkan uang. Solusinya? Saya harus punya tabungan masa tua. Saya juga harus mulai merencanakan rumah masa tua, dan kebutuhan apa saja di dalamnya. Saya sudah harus merasa cukup dengan apa yang saya punya saat usia dewasa, supaya di masa tua nanti, saya sudah puas dengan segala yang pernah saya raih. Saya gak mau Biandul jadi generasi sandwich, seperti yang sudah pernah saya lalui. Semua kondisi itu harus segera diputus, agar tidak menjadi siklus buruk turun temurun.

Baca juga: Menanam Nilai Kebaikan


RENCANA MASA TUA

Saya dan suami pernah sepakat ingin menghabiskan masa tua di tempat yang tenang, sejuk, tidak terlalu ramai seperti ibukota, dan kita bisa melakukan apapun yang kita suka di rumah kita. Entah itu bercocok tanam, memiliki peliharaan, menanam bunga, menjahit, atau bahkan beternak. Kita masih belum tahu, apa saja yang akan mampu kita lakukan. Tapi, selagi masih punya waktu, saya mau belajar banyak hal. Saya mau menyukai banyak hal. Saya mau menguasai banyak hal. Saya mau masa tua saya tidak membosankan. Saya dan suami juga butuh merencanakan di mana kami akan membangun rumah masa tua. Rumah yang mungkin hanya saya dan suami yang menempatinya berdua setelah Biandul berkeluarga dan hidup mandiri. Hmm, kira-kira di mana ya tempat yang tenang dan nyaman untuk menghabiskan masa tua?

Dan, satu lagi, jangan lupa menabung. Dana pensiun adalah satu hal penting yang wajib dimiliki. Harta ini bisa berupa uang, investasi di reksadana, saham, atau emas. Bisa juga berupa asuransi. Tentunya, semua ini harus dimulai sedikit demi sedikit, sesuai kemampuan kami, untuk bisa menjadi bekal di hari tua dan gak merepotkan anak. 


MENETAP DI PANTI WERDHA/SENIOR LIVING

Entah sudah berapa lama saya punya pemikiran ini. Tapi, saya punya banyak hal yang selalu dipikirkan, dan mungkin opsi ini akan jadi salah satu opsi yang saya simpan paling terakhir.

Ketika sudah tua, entah saya atau suami yang meninggal dunia lebih dulu, kita semua gak pernah ada yang tahu. Kemungkinan terburuk lainnya pun masih sangat bisa terjadi; seperti sakit keras, kecelakaan yang menyebabkan kecacatan, perceraian, kemungkinan itu semua gak bisa saya duga datangnya, meskipun saya gak pernah berharap salah satunya kejadian di keluarga saya. Tapi, akan selalu ada banyak kemungkinan yang terjadi dalam hidup. Kita hanya harus terus berusaha bersiap, gak menyangkal, karena hidup memang penuh kejutan!

Jika ternyata saya harus menghabiskan masa tua sendirian tanpa suami, saya lebih merasa nyaman jika saya berada di tempat yang terjamin. Saya gak pernah merasa anak saya adalah anak durhaka jika memasukkan orangtuanya ke panti werdha. Tempat ini, bagi saya, hanya semacam kontrakan bagi orang-orang lansia, yang di dalamnya ada banyak kegiatan bersama, ada para pekerja yang bisa membantu kita, dan tentunya kita gak akan merasa membebani anak. Ketika anak sudah berkeluarga, mereka juga punya kehidupan impian yang akan mereka raih, dan tentunya belum tentu akan bisa bercampur dengan visi kita sebagai orangtua dan orang tua (jika kamu belum tahu, perbedaan definisinya; orangtua adalah ibu dan ayah kandung, sedangkan orang tua adalah orang yang sudah berusia tua). Saya akan sangat memaklumi hal itu, karena saya pernah tahu rasanya menjadi anak yang sudah berkeluarga.

Baca juga: Masalah Pernikahan yang Paling Sering Dikeluhkan

https://megapolitan.kompas.com/read/2019/08/22/19261901/bukan-panti-jompo-ada-rusun-khusus-lansia-di-cibubur?page=all
Sasana Tresna Werdha (STW) RIA Pembangunan, rusun khusus lansia di Cibubur.


https://news.detik.com/adv-nhl-detikcom/d-4725913/senior-living-dkhayangan-jababeka-hunian-yang-nyaman-untuk-lansia
D'Khayangan Jababeka Senior Living, Cikarang 

Entah belasan tahun dari sekarang, apakah pikiran saya ini bisa berubah atau gak, kita liat aja nanti hehe. 


SUDUT PANDANG ANAK VS ORANGTUA 

Sebagai anak yang sudah berkeluarga, saya punya sudut pandang yang sangat relevan, karena saya sedang berada di fase ini. Saya dan keluarga kecil saya belum memiliki rumah pribadi, dan masih akan berusaha memilikinya. Sementara, saya masih tinggal bersama orangtua dari suami saya. Selama beberapa tahun saya tinggal di sini, ada banyak perasaan bahwa saya selalu memimpikan rumah sendiri, karena semua kontrol akan ada di tangan saya. Gak perlu ada yang namanya sungkan, gak perlu takut berbeda pendapat, gak perlu takut merasa dihakimi karena value saya berbeda dengan value keluarga suami saya. Kenyataannya, keluarga suami saya sangat menerima saya dengan baik di sini. Saya gak dibedakan sebagai anak menantu, dan bahkan kerap dibantu dengan berbagai urusan. Tapi, memang tetap kehidupan yang paling ideal ketika sudah berumah tangga adalah kehidupan yang mandiri tanpa campur tangan orangtua. Dengan begitu, saya dan keluarga jadi lebih bisa merasa punya tanggung jawab besar terhadap rumah kami sendiri; kami harus merawatnya, mengurusnya, dan menjaganya terus. Kami gak akan lagi merasa bisa mengandalkan orang lain untuk mengurus area rumah yang bermasalah. Rumah kami adalah sepenuhnya tanggung jawab kami. 

Mengapa gak tinggal di rumah orangtua saya? Saya menduga akan lebih buruk dari bayangan saya sendiri. Sewaktu belum menikah, saya adalah tuan putri di rumah. Segala sesuatu sudah disiapkan dan terima jadi. Wah, gak kebayang kalau terus-terusan keenakan begitu di rumah ibu saya. Bisa-bisa, saya jadi pemalas dan malah gak belajar berumah tangga sendiri karena mengandalkan ibu saya terus. Lumayan kurang ajar sih itu namanya, hahaha. Makanya, keputusan saya untuk pisah rumah dengan ibu saya, adalah untuk membentuk kemandirian saya atas tanggung jawab saya menjadi istri, ibu, dan diri saya sendiri.

Jadi, keinginan untuk berkehidupan mandiri dan lepas dari orangtua saat sudah berkeluarga memang menjadi impian besar saya. Bukan karena gak mau tinggal sama orangtua, hanya saja lebih merasa nyaman jika bisa tinggal di rumah sendiri.

Ketika nanti saya menjadi orangtua dan anak saya sudah beranjak dewasa, saya mungkin akan mengingat-ingat sudut pandang saya, yang mungkin juga akan dirasakan oleh anak/menantu saya kelak. Ketika mereka lebih memilih untuk mandiri dan pisah rumah, ya saya akan sangat menghargai keputusan mereka. Meskipun kelihatannya akan lebih seru jika bisa serumah dengan anak, menantu, dan cucu, tapi keputusan seseorang yang sudah berumah tangga gak seharusnya terbebani oleh kondisi orangtua yang gak mampu menjalani masa tuanya sendirian. Keputusan mereka juga gak seharusnya dicampuri oleh keputusan kami sebagai orangtua, hanya karena gak mau pisah sama anak. Ya, siklus kehidupan memang begitu, bukan? Mereka juga kelak akan jadi orangtua dan memikirkan tentang hal ini di kemudian hari. Dan kita, hanya akan bisa berpuas diri, ketika semua harapan telah sesuai dengan rencana kita. Kita juga sudah bisa berdamai dengan segala kemungkinan dan rahasia hidup yang sewaktu-waktu datangnya mengejutkan.

Gak ada yang salah dengan pilihan seseorang; ketika ingin hidup mandiri dan memisahkan diri dari orangtua, atau masih akan tetap tinggal bersama orangtua meskipun sudah berkeluarga. Semua keputusan kan kembali lagi ke keadaan yang harus dilalui, tanggung jawab yang dipikul, dan kondisi masing-masing. Yang pasti, kita semua mengharapkan kehidupan yang paling terbaik bagi semua pihak sehingga gak akan ada lagi yang merasa terbebani dan menjadi konflik di kemudian hari.

Semoga hari tua kita masih akan selalu menyenangkan, bahkan lebih menyenangkan daripada hari ini, saat kita berandai-andai tentang segala hal yang belum sampai pada masanya. Apa rencana masa tuamu yang pernah terlintas dalam pikiranmu?
Berhubung hari ini adalah hari Bumi sedunia, saya jadi pengin berkeluh kesah sedikit. Tentang betapa banyak hal yang belum pernah bisa saya lakukan untuk menjaga bumi. Tentang betapa menyesalnya saat sampah yang saya hasilkan masih banyak. Ternyata, niat saja memang belum cukup untuk menggerakkan saya melakukan aksi nyata. Ternyata, saya masih butuh menata situasi dan kondisi di depan mata, sebelum melakukan hal lain yang jauh lebih penting untuk dilakukan. Memang benar, jika sudah ada niat, harus langsung bergerak. Karena tanpa gerakan, niat tersebut hanyalah menjadi gagasan yang memuai lalu hilang tanpa jejak. Tapi, masih banyak hal yang belum saya benahi untuk bisa memulai sesuatu yang baru.

Saya masih belum bisa meninggalkan plastik kresek dan sampah plastik di rumah. Saya masih selalu lupa membawa alat makan sendiri saat bepergian. Saya masih tidak bisa berkomitmen panjang untuk memilah sampah rumah tangga. Saya masih belum mampu mulai mengompos sampah organik. Saya masih belum memiliki kesempatan untuk menanam tanaman di rumah. Saya masih menghasilkan sampah kemasan dari belanja online. Sampah sisa makanan di rumah masih banyak, meskipun saya sudah berusaha untuk mencegahnya. Masih banyak kegagalan yang saya alami dalam proses ini. Tapi, proses belajar dan memahami semua hal masih terus saya serap, meskipun belum bisa saya terapkan. Saya banyak belajar dari internet, media sosial, dan orang-orang yang berpengaruh, sambil terus berpikir, "suatu saat saya akan menerapkan gaya hidup sebersih itu". Bukan hanya untuk bumi, tapi juga untuk kenyamanan keluarga kami. Saya menulis ini sebagai catatan dan pengingat, bahwa saya pernah memiliki ambisi untuk memiliki hidup yang lebih baik dari kemarin. Dan, semoga, entah berapa tahun yang akan datang, saya bisa menghasilkan aksi yang lebih dari sekadar harapan seperti sekarang.

Omong-omong tentang menjaga bumi, aksi-aksi yang saya sebutkan di atas itu sebenarnya hanya aksi kecil yang sesederhana bisa kita lakukan terhadap diri sendiri di rumah, tapi kalau semua orang sanggup menerapkan, efeknya pasti akan dirasakan sama seluruh manusia di dunia, dong? Karena untuk menggerakkan hal lain yang lebih besar lagi, kita gak sanggup sendirian. Kalau milah sampah di rumah aja masih gagal, kenapa harus mikirin gimana cara pemerintah mengurangi penggunaan mobil/motor pribadi untuk mengurangi polusi udara? Kita bahkan gak tahu gimana caranya. Jadi, memang lebih bijak kalau kita kendalikan diri sendiri dulu. Nah, saya masih banyak gagalnya di sini. Padahal, akses informasi saya udah lumayan terkumpul nih. Sedih kan? Huhu. Tapi gapapa, saya masih terus belajar dan memahami dulu, aksi apa yang akan dan bisa saya lakukan sedikit demi sedikit. Karena memang saya gak mampu melakukan semuanya sekaligus, padahal proses belajar saya masih sedikit.

Baca juga: Pengalaman Menggunakan Menstrual Pad

Semoga teman-teman semua juga bisa memulai perlahan aksi nyata untuk menjaga bumi dari ancaman bahaya manusia. Semoga akses informasi dan pembelajaran juga lebih mudah kita dapatkan, sehingga semua orang bisa tergerak untuk memulai. Semoga saya juga bisa menemukan cara untuk memulai hidup yang lebih bersahabat dengan alam. Mendekat dengan bumi. Memelihara kesederhanaan dan tidak terlena dengan semua yang serba instan, tapi berujung tanpa tanggung jawab atas apa yang saya konsumsi.

Tulisan ini bukan dibuat untuk menggurui atau menghakimi siapapun atas apa yang sudah atau belum diperbuat. Tulisan ini hanyalah opini pribadi untuk menyentil diri saya sendiri, sebagai upaya pengingat, bahwa saya masih jauh dari kata berhasil untuk melakukan aksi nyata dalam menjaga bumi. Maaf ya, bumi. Tolong jangan marah. Tolong bertahan sebagai rumah kami yang tetap indah.

Selamat hari Bumi sedunia...


Tulisan ini memang bisa dibilang super terlambat, karena hari ini, kita udah menjalani bulan kedua di tahun 2021. Tapi, ingatan tentang perjalanan 2020 gak pernah bisa kita lupakan. Setuju? Berbekal tulisan ini, saya pengin banget suatu hari nanti, bisa mengingat perjalanan sulit itu, mengenang bahwa ternyata setidaknya kita bisa bertahan meski harus berjalan terseok-seok. Kegagalan demi kegagalan, penundaan, dan ketidakpastian menghantui kita semua, bahkan masih berlangsung hingga hari ini. Mari ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada diri kita, untuk segala perjuangan yang tak pernah berhenti meski selalu ada tangis dan penyesalan setiap harinya. Semoga tetap masih ada banyak syukur di antaranya.


DISERANG PANDEMI

Covid-19 merupakan hal baru yang tiba-tiba menghantam seluruh manusia di bumi. Seakan hukum seleksi alam, satu per satu gugur dengan sangat mengejutkan. Setiap hari, ada ratusan kubur yang tergali, jutaan manusia berjuang dalam batas hidup dan mati, dan yang lainnya terkurung tanpa bisa saling membantu. Virus ini seperti merenggut kebahagiaan kita tanpa ampun. Meski tak sedikit juga yang bisa pulih, tapi catatan medis tak pernah bisa hilang. Selamanya, tubuh kita akan mengenal penyakit ini. Dan mungkin saja kita masih harus terus hidup berdampingan selama bertahun-tahun, jika tidak segera ditangani.

Bulan Maret esok, tepat satu tahun virus ini menyerang Indonesia. Masih banyak yang akhirnya kena, meskipun sudah memperketat protokol kesehatan, dan selalu berada di dalam rumah. Ketularan dari siapa, coba? Ya, gak ada yang tahu. Banyak sekali orang tanpa gejala di sekitar kita, banyak sekali orang bergejala yang sengaja tidak isolasi mandiri, atau bahkan tidak swab test untuk memastikan apakah dirinya positif atau tidak, banyak sekali orang positif bergejala ringan yang tidak isolasi mandiri dan tetap pergi ke sana-sini, lalu tidak ada yang tahu bahwa ia membawa virus itu pula tersebar ke orang-orang sekitarnya yang akan ikut tertular. Yah, begitulah. Kita tidak bisa selalu mengontrol orang lain, jadi yang bisa kita lakukan hanya menjaga kesehatan dan kebersihan diri sendiri dan keluarga di rumah, yang bahkan, masih juga bisa terkena giliran "dikunjungi" tamu tak diharapkan itu. Virus ini bukan hanya merenggut nyawa, tetapi juga kemanusiaan. Tak jarang berita sedih disiarkan, tentang bagaimana pasien tidak tertolong karena rumah sakit kuwalahan, tentang jenazah yang tidak diterima warga, tentang penyintas yang sudah sembuh tapi tetap dikucilkan, tentang pasien yang diusir dari rumah oleh warga karena takut tertular, tentang angka kematian yang terus bertambah namun tak juga ada peningkatan pencegahan dari pemerintah. Dan tak lepas juga dari berbagai macam hoax yang menyerang, lebih kuat dari virus itu sendiri. Hidup kita dibuat sangat lelah, tanpa jeda.

Setahun kemarin, tak hanya virus yang merenggut ketenangan hidup, tetapi juga bencana alam, masalah politik, resesi, kebangkrutan ekonomi, perceraian, dan masih banyak lagi kasus lainnya. Kita seperti dihadapkan pada tahun terberat, yang menuntut kita untuk kuat atau lewat. Semua hal hanya bisa kita yakinkan pada diri sendiri. Sejauh apa kita bisa bertahan, apa yang harus kita lakukan, bagaimana jika itu semua terjadi di dalam keluarga inti kita sendiri, sampai kapan kita harus menghadapi kecemasan ini???

Di dalam keluarga saya pribadi, saya telah menghadapi bahwa salah seorang anggota keluarga serumah harus terkena virus covid-19, selama sebulan lebih harus berjuang untuk pulih agar bisa berkumpul lagi seperti biasa. Dan saya gak mau sampai harus ada kasus kedua, karena itu semua sangat melelahkan. Kesedihan, mental yang down, kecemasan, kesakitan, diri kita yang super sensitif juga akhirnya terdorong keluar memberontak. Salah bertindak atau berkata sedikit saja, bisa kacau seisi rumah. Itu adalah waktu di mana semua keadaan diperas kencang, seakan napas saja tidak keluar dengan lega. Meskipun akhirnya bisa pulih dan beraktivitas seperti semula, sejarah itu tetap membekas selamanya. Menghantam kepala kita untuk lebih waspada. Virus ini tak pandang bulu, siapapun bisa saja terpilih dan tak bisa berbuat apa-apa lagi selain berjuang pulih. Jika ada penyakit bawaan atau termasuk golongan lansia, kesempatan pulih menjadi lebih sedikit, karena kondisi dan tubuh yang berbeda dan lemah mungkin akan kalah.


KEGAGALAN BANYAK RENCANA

Selain menghadapi virus itu, banyak pula kegagalan yang harus kami terima. Ditampar oleh kegagalan memang sakit, gak ada duanya. Tapi kita gak bisa terus menunduk sedih, harus ada lagi momen yang membuat kita bangkit dan berusaha dari nol lagi. Rencana kita untuk mulai membangun rumah sendiri gagal, rencana kita untuk pindah ke luar kota gagal, rencana kita untuk bepergian juga gagal, bahkan sesederhana rencana untuk menginap ke rumah sanak saudara pun juga gagal. Ke mana lagi kita harus berdiri? Kita dipaksa untuk tetap di rumah. No way out! Kebayang banget stresnya dikurung, tanpa bisa berbuat banyak. Tabungan habis, penghasilan berkurang, pekerjaan dibatalkan, itu terjadi pada kita semua sepanjang tahun. Bisa berdiri dengan kaki sendiri saja sudah bersyukur, jangan harap bisa mewujudkan mimpi yang kemarin sudah direncanakan rapi, karena tahun ini memang tahun kegagalan bagi banyak orang. Tetapi kemudian kita sadar, kita gak bisa terus menerus merunduk tanpa melawan. Kita pasti bisa melakukan banyak hal lain, mengumpulkan semangat kembali dari nol, menciptakan hal yang kemarin sudah punah, dan bangun bersama. Tak mau kalah.

Banyak praktisi dan ahli menggelar kelas online, banyak platform yang menyuguhkan pembelajaran online gratis, banyak hobi yang masih bisa disalurkan meski hanya di dalam rumah, banyak kegiatan yang bisa dilakukan untuk menghibur si Kecil agar tidak bosan di rumah, meski mereka tetap butuh ruang gerak yang luas untuk menyalurkan energinya. Anak-anak butuh bergerak bebas, lepas, dan menghabiskan masa bermainnya dengan puas. Mereka juga merasakan perjuangan karena tidak bisa bermain lepas di ruang terbuka, tidak bisa merasakan bahagianya bermain di playground, bertemu teman sebaya, berenang di waterpark, berjalan-jalan di mall, makan di luar bersama keluarga, semua hanya bisa ditahan untuk bisa dilakukan entah kapan. Saya pribadi, mengikuti kelas online menjahit masker kain, mengikuti kelas memasak, mengajak anak membuat kue/camilan dengan resep sederhana, dan bahkan merayakan ulang tahun anak di rumah hanya dengan keluarga dan saudara dekat, membelikan kue ulang tahun kesukaan dengan pilihannya sendiri, memesan banyak balon, membuka kado bareng-bareng, membelikan mainan edukasi yang bisa dimainkan dengan banyak cara supaya tidak bosan. Kami masih bisa bahagia, meski semua serba terbatas. Meski di tengah penyesalan atas berbagai kegagalan. Meski di antara kecemasan saat virus itu "mampir" di rumah kami. Meski semua mimpi masih harus tertanam jauh di dasar hati. Kami masih bersama, dan akan tetap bersama, menyelimuti diri dengan syukur, dan selalu belajar untuk terus maju. Berjalan perlahan lebih baik dibanding diam di tempat, bukan?


Kelas online menjahit face mask bareng Imaji Studio


Ini hasilnyaaa, bagus banget yaaa :) btw ini jahit tangan loh!


Pada akhirnya, tahun 2021 membuat kami merasa harus bisa menebus segala kekurangan tahun lalu, lebih banyak bersyukur, lebih banyak berusaha, dan tidak menyia-nyiakan kesempatan hanya karena kecemasan. Kami sadar betul sudah banyak yang hilang; semangat, mimpi, harapan, tapi di tahun ini, kami ingin bertumbuh.
Sebelum saya sebahagia ini jadi fulltime mom, saya pernah ngos-ngosan jadi working mom dan membawa ke-stress-an itu setiap pulang kerja. Alhasil, semua gak fokus. Pikiran kebagi banyak, tenaga habis, ngurus anak jadi gak maksimal. Cupu? Call me whatever as you like. Tapi menurut saya, inilah pilihan yang akhirnya saya ambil karena beberapa faktor. Saya dan suami gak punya pilihan untuk masukin Biandul ke daycare (jangan tanya kenapa ya), dan opsi kami di awal hanyalah titip ke Utinya. Tapi karena saya pindah ke rumah ibu mertua, yang dititipkan jadinya ya ibu mertua saya. Sedangkan beliau juga masih sambil kerja. Gak tega rasanya liat beliau kurang tidur dan kecapean urus bayi saya (yang seharusnya menjadi tanggung jawab saya), sedangkan saya hampir selalu pulang kerja larut malam, entah karena lembur atau kejebak lalu lintas Jakarta yang amit-amit. Jauhhhh pun ya kantornya semenjak saya pindah ke rumah suami, rumah di Barat, kantor di Selatan, perjalanan bisa dua jam (evil cry). Suami yang kerja freelance di rumah pun jadi kebagi juga waktunya karena sambil jaga anak kami saat ibu mertua dapat shift kerja pagi hingga sore, karena yaa gak ada orang lain lagi di rumah. Ribet kan ya? 😅




Akhirnya dengan keyakinan penuh, yaudah saya yang ngalah untuk gak kerja supaya bisa full urus Biandul, karena semua di rumah ini masih pada kerja dan cuma ada di rumah waktu sore aja. Jelas akan memberatkan beban semua pihak kalau harus bergantian urus Biandul, dan kalau semua lagi gak ada di rumah, suami jadi yang harus turun tangan urus sendiri dan meninggalkan pekerjaan gambarnya.
Enam bulan pertama, semua mulai terbiasa. Saya sibuk urus ASIP dan kasih tau ke seisi rumah, ASIP mana yang harus diambil untuk diminum ke Biandul, tiap hari. Sepulang kerja masih harus pumping, cuci botol ASIP yang biasanya sehari abis 5-6 botol, bersihin badan, barulah bisa ikut Biandul istirahat (?), eh tentu tidaaak. Jika Biandul udah tidur pas saya belum sampai rumah, pasti pas saya udah di rumah, dia kebangun lagi. Ngajak main sampai jam 2-3 pagi, baru mau tidur lagi. Kadang saya gak bisa mandi, nyuci botol ASIP nunggu dia tidur dulu, kadang kecucinya baru paginya, harus sterilin juga. Eh dapet tidur cuma 2-3 jam terus berangkat kerja lagi. Gak jarang saya cuma bisa tidur sejam dan akhirnya minta izin untuk gak datang ke kantor, tapi di rumah tetap kerja. Untungnyaaa, punya bos yang pengertian banget. Asal kerjaan aman dan alasannya masuk akal, ya udah gapapa kerja di rumah. Lagian kalau cuma tidur sejam doang sih di jalan saya keburu pengsannn bisa-bisa. Kebayang gak rasanya kurang tidur dan nahan ngantuk? Muehehehe. Dan keseharian kita begitu terus sampai gak kerasa udah enam bulan.

Mulai lah Bian MPASI. WAAW SUPER EXCITED!
Mak ternyata inilah the next level of working mom karena tugas bertambah: MASAKIN MPASI. Jadi saya selalu masak di malam hari, masukin kulkas dibagi buat sekali makan di food container, baru bisa istirahatin badan. Kenapa gak pagi? Karena saya susah bangun pagi. Dibangunin bayi pun mata masih merem-melek, masih harus masak? Bakal buru-buru berangkat ngantor karena musti nyuapin sarapan dulu, mandiin, baru saya yang gantian mandi dan siap-siap ke kantor. Dan semenjak MPASI, saya berangkat ngantor jam berapa dong? JAM SEPULUH GAISSS! Sampai kantor jam berapa? HAMPIR JAM DUA BELAS WICIS JAMNYA LUNCH. Kantor bapak buyut??? Enaknya kerja di advertising ya gitu sih jam kerjanya fleksibel. TAPI KALO TIAP HARI YA BISA DIJUDESIN BOS JUGA LAH HEHEHEHE.

Lelah dan exhausted, sebulan kemudian saya minta resign! 🤣🤣🤣 Setelah berkompromi dan (akhirnya) dapat approval dari suami, saya ajuin resign. Karena selama di kantor semenjak saya masuk lagi setelah cuti melahirkan, pekerjaan saya semakin dikit, semakin terasa membosankan, jadi gampang ngantuk (ya kadang karena begadang sama bayi juga sih), dan ujung-ujungnya browsing: tentang MPASI bayi, menu MPASI, kenapa feses bayi berwarna anu, kalau bayi demam gimana penanganannya, kenapa bayi begini begitu, stimulus apa untuk bayi umur sekian bulan, bayi umur sekian bulan udah bisa apa, etc etc. Lahhh ini mah badan di kantor, kepala di rumah. Gak baik. Saya harus ambil keputusan. Kayaknya karena saya overthinking, saya bakal terus mikirin anak saya di rumah gimana, lagi ngapain, udah bisa apa, sedangkan saya di kantor harus kerja dan kadang harus dibawa ke rumah karena belum selesai dan gak mungkin lembur sampai larut malam kayak waktu belum punya bayi. Jadi, akhirnya saya putuskan untuk resign saja. Saya percaya rejeki saya akan datang dengan cara lain walaupun sebenernya udah enak banget tiap bulan dapet gaji lumayan dan bisa buat beliin baju dan mainan Biandul, bisa ketemu orang lain dan becanda, bisa colongan tidur siang dan me time (di kantor ada salon, lunch bisa ke mall sekalian cuci mata), tapi kok berat ninggalin rumah tiap hari? Ya saya mendingan stay di rumah. Cari kerjaan freelance bisa laaaah, gak akan seberat beban kerja fulltime di kantor. Lagipula, suami saya pernah bilang: "Ini anak kita, tanggung jawab kita. Sudah seharusnya kita yang ngalah untuk urus dia, bukan malah merepotkan orang dan kita tetep bertahan sama ego untuk kerja terus-terusan". Hmm, bener juga...
Ets, tapi jangan salah paham. Kalau kita titipin anak ke daycare atau nanny kan memang mereka bekerja untuk asuh anak dan dibayar, sedangkan untuk kasus saya, kami (bisa dibilang) lumayan merepotkan orangtua suami saya karena beliau harus ikut urus bayi kami SAMBIL BEKERJA JUGA. Jadi beban mertua saya ya juga jadi sangat berat karena harus merelakan jam istirahatnya untuk urus bayi yang pada masa itu masih demanding banget. Mereka sih keliatannya relaaaa banget, tapi saya yang kasihan. Gimana ya, capeknya juga saya ngerasain. Nah saya masih muda, sedangkan beliau sudah tua dan butuh lebih banyak waktu santai, jadi kami gak tega aja, hehe.

Dan benar aja, tawaran freelance ada aja untuk ngisi waktu senggang. Biasanya saya kerjain pas malam Biandul udah tidur. Makin gede, jam tidurnya udah lumayan teratur, jam delapan malam udah pasti ngantuk dan ngajak tidur. Lumayan deh bisa me time main hp sampe ketiduran wekekekek (atau nyuci baju, nyuci piring, beresin rumah, ngelipet baju, nyetrika, LAH MANA KATANYA ME TIME MAEN HAPE HAHAHA). Sampi akhirnya sekarang Biandul udah 15 bulan, saya ngerasa nyaman-nyaman aja jadi ibu rumah tangga. Bosan itu pasti, tapi suami saya untungnya sering ngajak jalan-jalan huehehehe, yaaa walaupun cuma jalan-jalan ke komplek sebelah sih bagi saya yang penting gak keluar duit banyak kayak ke mall AHAHAHA karena jajanan pinggir jalan lebih mure. Dan yang paling penting, GAK USAH NGITUNGIN CUTI TAHUNAN DULU KALAU MAU JALAN-JALAN (Yayy!).

Nah, kalau ada yang masih dilanda kegalauan mau fulltime jadi ibu di rumah, atau tetap bekerja, silakan jawab pertanyaan di bawah ini ke DIRI SENDIRI YA:

  1. Seberapa banyak kamu googling tentang semua hal yang berbau bayi, parenting, dan sejenisnya, selama di kantor?
  2. Seberapa berat beban pekerjaan kantor yang kamu rasain ketika belum punya anak vs sudah punya anak?
  3. Bagaimana manajemen waktu kamu selama di rumah dan di kantor selama punya anak?
  4. Bagaimana mood kamu selama di kantor? Membosankan, atau malah senang?
  5. Apakah kamu sedang memiliki tujuan untuk naik jabatan?
  6. Kalau kamu berada di situasi yang mengharuskan di rumah terus, bakal stres karena bosen gak?
  7. Apa kamu tipikal orang yang HARUS keluar rumah atau ketemu orang lain ketika kamu bosen?
  8. Apakah manajemen keuangan kamu sudah berada di titik aman?
  9. Sudah siap untuk terjun bebas ketika kamu resign, gak punya penghasilan lagi, dan harus menghemat uang dengan tidak sering belanja atau jajan?
  10. Apa kebutuhan sehari-hari sudah cukup, atau malah lagi berantakan?
  11. Masih punya utang atau tagihan yang belum lunas gak?
  12. Apa kamu cukup percaya dengan pola asuh yang diterapkan orang lain ke anak kamu? (Dalam hal ini, orang lain itu bisa orangtua, mertua, nanny, atau pihak daycare)
  13. Apakah anak kamu punya kegiatan yang memenuhi stimulasi tumbuh kembangnya dari pihak lain yang mengasuh anak kamu?
  14. Amati perkembangan anak dari bulan ke bulan, apakah ada perkembangan, atau biasa saja? Jika tidak ada perkembangan, maka harus ada yang dievaluasi dari pola asuh orang lain terhadap anak kamu.
  15. Siapkah untuk menerima hal pada poin ke 14 tadi? (Jika anak kamu masuk ke daycare, kemungkinan pola asuhnya akan lebih tepat dan bisa dipercaya.)
  16. Apakah kamu takut bahwa kamu dan anak jadi kurang bonding?
  17. Sudahkah punya cara efektif untuk memperkuat bonding dengan waktu yang terbatas karena sambil bekerja?
  18. Apakah kamu yakin dapat berkomitmen "hadir" sepenuhnya untuk anak kamu jika kamu fulltime menjadi ibu rumah tangga? (Dalam artian tidak hanya kasih makan, kelonin, mandiin aja tapi juga ajak main dan kasih stimulasi tanpa membagi pikiran ke hal lain.)
  19. Apakah kamu tetap butuh bantuan dari orang lain untuk mengasuh anak, mengurus keperluan suami, dan mengurus rumah?
  20. Pertanyaan terakhir adalah yang paling penting: Apakah kamu diizinkan oleh suami untuk resign??? 🤣🤣🤣

Silakan jawab dan buat kesimpulan sendiri, apakah kamu seharusnya sudah resign, atau tetap bekerja di kantor. Tapi untuk kamu yang punya masalah finansial jika resign, ya mungkin memang pilihan terbaik adalah tetap bekerja dulu supaya bisa menabung dan merencanakan sampai kapan bisa bekerja agar finansial aman jika suatu hari kamu mau resign. Kita harus tetap realistis, bukan? Jadi, semangat untuk apapun pilihan kamu!

Kalau menurut kamu, lebih pilih jadi working mom atau fulltime mom? Saya awalnya juga mikir kayaknya bakal jadi working mom terus tapi ternyata setelah melihat keadaan di lapangan secara langsung (halah), ada masanya kita memilih hal yang terbaik, bukan cuma untuk kita sendiri tapi juga untuk keluarga. Alhamdulillahnya lagi, rejeki dari suami yang (keliatannya cuma) freelance ternyata mencukupi kebutuhan keluarga kami loh. Kuncinya adalah ikhlas dan yakin, percaya bahwa pilihan yang terbaik itu gak pernah membawa kita ke keadaan yang salah.

Cheers!

Tahun 2018 bisa dibilang tahun yang gado-gado buat saya. Pengalaman nihil dalam peran seorang ibu menjadi faktor paling besar yang membuat saya merasa berat menjalani tahun ini. Susah, senang, kagum, haru, bahkan sampai sedih dan bingung pun bisa dirasakan semudah membalikkan telapak tangan. Ya, secampuraduk itu perasaan saya. Tapi, semua itu telah mengubah banyak hal dalam hidup dan pemikiran saya. Jelas, karena manusia akan selalu berubah; ke arah mana adalah kita sendiri sebagai pihak penentu. Jadi, gak usah lagi deh nyalahin takdir atau orang lain yang dianggap menjadi penyebab kenapa hidup kamu gini gak gitu, di sini gak di situ, atau malah ke mari bukan ke situ. Lho, ya, kalau ada orang lain "ngajak", kan tergantung kamunya mau atau gak, ya toh? So, I'll describe some of my journeys during 2018, like the others did.

Ceritanya mundur agak jauh dulu ya sebagai latar belakangnya. Anxiety adalah sejenis parasut terbesar yang menghambat sebagian banyak hal penting dalam hidup saya. Kekhawatiran itu menghambat saya untuk melakukan SEGALA HAL yang ada di depan mata saya. Literally segalanya. Dan ketika saya sadar bahwa hal ini udah bukan bisa dibilang hal biasa, saya mulai riset sendiri. Mencoba mengenal diri sendiri. Semua ini sudah lama saya lakukan, bahkan hingga membuat saya gak mengenal diri saya sendiri. Bingung? Sangat. Terus apa yang harus saya lakuin dalam hidup ini? Kalau gak tau mau ngapain, terus ngapain saya harus panjang umur? Bosan banget rasanya menghabiskan hari-hari biasa tanpa tahu mau ngapain dan buat apa, sehingga pikiran untuk mati sangat sering lewat. Yap, beberapa kali saya terserang depresi dan itu udah lama banget, bukan di tahun ini. Tapi, saya menceritakan ini karena hal ini adalah trigger terbesar yang lumayan membentuk saya menjadi diri yang sekarang ini.

Kenapa awalnya bisa anxiety dan depresi? Entah. Mungkin karena hidup dalam lingkungan yang gak sehat secara mental, banyak pengaruh yang tanpa sadar sebenarnya buruk, dan tidak adanya sosok orang yang bisa menuntun saya untuk lebih care dengan diri saya. Ketakutan saya terhadap apapun membuat saya jadi manusia yang gak gimana-gimana. Dapet ranking di sekolah, yaudah. Gak ranking 1 juga sih. Gak masuk ke sekolah favorit mah yaudah. Sekolah di mana aja bagi saya sama aja. Toh saya juga bakal takut sama guru dan segala hal yang terjadi di dalam kelas ketika ada sebuah situasi di mana saya harus menjadi pusat atensi bagi semua orang. Saya gak mau jadi juara karena takut dikenal, saya gak mau ikut lomba karena saya takut denger judge dari juri, saya gak suka ikut ekskul karena bagi saya lebih enak tidur di kasur, saya gak suka belajar di kelas karena saya takut bersosialisasi dengan sekumpulan orang dalam jumlah besar, tapi saya harus sekolah dan lulus untuk dapat ijazah dan melanjutkan hidup, itu kata banyak orang-orang. Hidup yang seperti apa, saya juga gak pernah tau jawabannya. Itu sebagian gambaran kelam dari masa lalu saya, sebelum akhirnya saya perlahan bisa bangkit dan mulai mengenal hidup.

2013 saya mulai membuka hidup baru karena sudah mulai bisa terbuka untuk orang lain. Ikut komunitas, belajar menulis, mulai kenal dunia kerja, bahkan kenal sama Tian dan "digodok" untuk jadi manusia, bukan robot kayak yang sebelumnya saya rasakan. Nah, untungnya Tian ini akhirnya jadi jodoh yang saya nikahi di akhir tahun 2016 hahahaha. Kemudian saya punya anak, transisi hidup kembali menampar saya. Sekarang semua hal bukan lagi hanya untuk hidup saya, tapi juga untuk hidup anak saya. Susah rasanya punya anak? Banget. Perjuangannya bisa dibaca di sini. Tapi saya lebih banyak bersyukur karena tempaan yang saya dapatkan membuat saya perlahan tahu jawaban atas semua pertanyaan yang sejak dulu saya gak paham: hidup itu kayak apa dan harus gimana? Dan saya jawab ke diri saya sendiri dengan tegas. Mulai saat itu, hidup saya perlahan berubah. Banyak fase yang mulai membuat level hidup saya naik. Akhirnya saya gak lagi ngerasa bahwa hidup itu cuma lewatin hari Senin sampai Minggu dan tiba-tiba udah ganti tahun lagi dan saya sadar kalau saya gak ngapa-ngapain setahun kemarin.

Di 2018, ujian kesabaran saya banyak bersumber dari Biandul. Kelakuannya yang super ajaib bikin mood saya naik turun. Kalau lagi pinter mah bisa sampe yang banggaaaaa banget ih kok bisa sih dia begitu, pinter amat, cepet amat belajarnya. Eh giliran lagi ngambek, wah kepala kayak dibakar panasnya. Ya, yang udah jadi emak-emak pasti paham betul. Apakah membuat saya kapok punya anak? Tentu tidak. Tapi, karena tanggung jawabnya besar banget, dititipin nyawa manusia cuy, ya saya gak mau asal nambah anak aja dong. Kalau memang merasa belum mampu bertanggung jawab lagi, saya gak akan mau nambah anak lagi. Ngurus anak susah makan sampai bbnya drop aja saya udah kalang kabut, takut anak kurang gizi lah, takut ada penyakit dalam yang serius lah, takut gak bisa keurus padahal saya udah telateeen banget bikinin makanannya. Tiap hari, sehari kadang bisa masak beberapa kali karena ditolak terus. Sejak umur Biandul delapan bulan, sejak kena diare pertama kali, di sinilah ujian kesabaran saya dimulai. Biandul jadi gampang sakit, badannya kuruuusss banget, tiap sesi makan jadi hal yang paling saya benci karena pasti akan berisik ngomel lah, ngotot lah, sedih lah, nanti tau-tau ngadu ke Tian sambil nangis-nangis minta peluk, minta kekuatan untuk terus sabar ngadepin Biandul.

Tantangan berikutnya muncul ketika di pikiran sudah mulai ribut, resign jangan? Kalau resign, uang buat sehari-hari cukup gak? Kalau gak resign, duh stres akutuh kerja setiap hari ketemu orang, meeting, takut dan capek. Belum lagi jaraknya jauh banget, sampai rumah udah kemaleman dan masih harus urus bayi. Saya bukan gak kuat sama capeknya, tapi gak kuat sama stresnya karena saya overthinking. Di kantor mikirin rumah, di rumah masih harus kerja lembur, di hari libur mikirin resign, masuk kantor lagi ketemu temen bisa seneng lagi. Siap emang di rumah terus setiap hari? Penghasilan jadi berkurang? Gak ada waktu main atau me-time karena full 24 jam pegang anak? Saya gak pernah nemu jawabannya, makanya keputusan ini maju mundur selama setahun belakangan. Akhirnya pertengahan tahun saya beranikan diri untuk resign. Dan hasilnya... LESS STRESS, SISTER! Saya gak perlu berantem sama anxiety tiap disuruh meeting, gak perlu takut terlibat masalah internal kantor, main sikut-sikutan demi bisa naik jabatan atau naik gaji. Dan pikiran saya fokus ke satu hal: anak. Kemudian masalah rejeki saya percaya aja kalau semua tetap baik-baik aja. Sebuah keputusan yang tidak saya sesalkan hehehe.

Dalam hal bisnis, saya gak pernah tau jago atau gak, karena saya gak pernah coba. Tapi selama ini saya selalu punya mindset: ketemu orang = takut. Yang namanya bisnis kan gak bisa sendirian dong, pasti ada kerjasama lah, kontribusi orang lain lah, dan saya aduh takuuuut. Saya sendiri aja lebih milih belanja online atau paling mentok di mini market aja karena tinggal ambil barang terus ke kasir buat bayar. Kalau ke warung, harus manggil penjualnya dulu, nanya ada barang ini itu atau gak, dan ini bisa saya sebut sebagai INTERAKSI. Takut? Jelas. Ketakutan saya berinteraksi sama sosial ini memang lama-lama agak mengganggu ya. Ada kenalan psikiater yang bisa bantu? Kalau ada, tolong komen ya hehehe (nitip sekalian). Oke, lanjut. Akhirnya yaudah kalau mau bisnis, online doang aja sekalian. Dapat dukungan dari suami, udah. Ditemenin sama adik ipar buat bantu, oke. Tapi karena dia juga mau nikah, fokusnya lumayan keganggu. Saking semangatnya, saya bikin plan sedetail mungkin. Kemudian gak ada kelanjutan. Dan gagal. Sedih. Tapi bingung juga mau mulai dengan gimana. Sedangkan gak ada satu langkah pun yang diambil, ya sebenarnya wajar kalau gak pindah tempat sesenti pun. Jadi kesedihan itu aku luapkan dengan marahin diri sendiri, lalu lupain semuanya. Karena bagi saya lebih gampang untuk marahin diri sendiri, lalu maafin dan lupain. Ketimbang nyalahin keadaan atau orang lain, walaupun udah maafin (katanya), pasti tetep masih susah untuk dilupain. Lagian emang gak ada pihak yang salah juga di sini selain diri sendiri yang gak ngelanjutin apa yang udah dimulai.

Hal lainnya yang sudah berani saya lakukan adalah: HIDUP MINIMALIS. Sebanyak dua dus total baju yang saya buang karena ternyata udah gak layak pakai dan gak akan pernah saya pakai lagi. Satu dus isi tas dan sepatu. Lalu beberapa kantong plastik isi make up dan perintilan centil yang walaupun masih ada isinya tapi kayaknya gak pernah saya sentuh (dan gak akan karena cuma seneng punya aja). Di sini saya belajar ikhlas banget untuk punya barang secukupnya dan sebutuhnya aja, sehingga saya harus ikhlas melepas sisanya. Semalam saya baru beresin isi lemari lagi dan melepas satu dus kecil isi jilbab yang banyak banget gak pernah kepake. Bisa dibilang, 75% barang saya sudah kebuang, dan yang saya punya sekarang hanya 25%-nya saja. Rasanya? Legaaaa banget karena bisa ikhlas. Dan isi rumah pun berasa enak karena cuma punya barang sedikit. Toh, yang dipakai bakal itu-itu lagi. Soon, saya bakal cerita lengkap tentang ini kalau udah beberes barang punya suami juga, karena saya masih belum berani untuk buang barang dia tanpa izin, apalagi baju. Karena bajunya kebanyakan hasil atrwork teman-teman senimannya, dan hasil gambarnya dia sendiri. Yang kayak gini kan pasti beda tujuan dong kalau gak mau dibuang?

Highlight saya yang paling keliatan di tahun 2018 sih itu kira-kira, tapi banyak juga hal kecil lainnya yang jadi keputusan penting bagi saya; semisal gak mau terlalu banyak posting video keseharian anak di IG Story, unfollow banyak banget orang-orang yang interest-nya gak sesuai lagi sama saya (termasuk beberapa selebriti fancy yang gak terlalu inspiring hidupnya, akun gosip bahkan gak pernah follow, jadi emang gak terlalu peduli sama update hidup seleb yang kebanyakan cuma gosiiippp, orang yang saya kenal pribadi, yang udah gak pernah saling tegur sapa, ngapain masih temenan di socmed yakan? Tapi kalau ketemu ya gak bakal saya judesin kayak orang gak kenal juga lah. Socmed dan real life kan beda), dan mulai rutin nge-blog lagiiii yayy!

Satu hal yang belum kesampaian di tahun ini padahal saya udah kepengin banget: olahraga. Hidup sehat itu emang kadang susah banget, bagi orang yang hidupnya terbiasa bodo amat dari dulu. Bodo amat mau makan apa aja, bodo amat mau bb naik atau turun, bodo amat mau olahraga atau gak, apalagi kalau jarang sakit kayak saya, makin bodo amat deh. Padahal olahraga kan penting buat bikin badan jadi tetep seger dan gak gampang loyo sampai tua nanti, apalagi udah punya anak, pasti mau panjang umur dong biar bisa ketemu cucu :") YAILAH ANAK MASI SETAUN UDAH MIKIRIN CUCU HEHEHEHE.

So, how about your 2018? Maaf kalau curhatnya kepanjangan dan membosankan yaaa. Yang mau share juga di komen boleh banget loh! Yuk semangat sambut 2019 dan mulai bikin resolusi lagi! 😃
"Hamil kok tetep kurus, sih?"
"Udah berapa bulan kehamilan? Kok kayak gak hamil..."
"Lo hamil aja masih gedean badan gue yang gak hamil!"
"Perut segede itu doang mah kayak gue lagi kenyang doang."
"Gue makan malem sekali aja besoknya bb bisa naik dua kilo, nah elu udah beberapa bulan hamil naiknya cuma dikit."

Daaaaannnn masih banyak lagi komentar orang-orang tentang badan kecil saya yang lagi hamil ini. Punya badan kurus, kadang emang jadi impian sebagian besar orang, khususnya cewek. Tapi juga kadang berarti jadi momok yang tidak menyenangkan bagi orang-orang kurusnya sendiri yang kesusahan menaikkan berat badan, walaupun hanya sekilo sebulan. Jadi, musti sedih apa senang?

Saya inget banget, tahun lalu waktu belum menikah (2016), saya pernah dikejutkan saat menimbang berat badan. Tiba-tiba, timbangan saya naik 7kg! Laaah, ke mana larinya? Terakhir saya nimbang berat badan emang udah lama banget, tapi tetep gak nyangka kalau perbedaannya bisa segitu banyak, padahal gak keliatan gemukan sama sekali. Malah, beberapa orang bilang saya kurusan. Akhirnya saya norak, seluruh dunia perlu tahu kalau akhirnya berat badan saya mencapai angka LIMA PULUH! Sebuah pencapaian tertinggi selama 24 tahun hidup saya, hehe. Lalu gak berapa lama, saya sakit seminggu. Sakit biasa aja, sih. Gak enak badan doang, tapi timbangan langsung turun 4kg. Haha, emang dah semesta kalo ngerjain orang suka gak pake rem. Setelah itu, berat badan saya lagi-lagi stuck hanya sampai di angka maksimal 45-46kg. Padahal, kalau dihitung pakai rumus BMI, normalnya berat badan saya harus mencapai 55kg, belum juga sampai tapi sudah turun lagi aja.

Baca juga: Pertama Kali Masuk Rumah Sakit


Buat kebanyakan orang, makan banyak jadi sumber utama kegemukan mereka yang gampang naik. Tapi buat saya, makan banyak atau sedikit gak ngaruh apa-apa. Kadang, saya malah khawatir kalau kebanyakan makan, bukannya malah gemuk karena berisi, malah penyakitan. Kebanyakan karbo atau manis, bisa kena gula. Kebanyakan junk food, organ tubuh dalam lama-lama ancur. Kebanyakan daging, bisa darah tinggi. Lhaaaa ya Gustiiii...

Akhirnya, saya pasrah aja deh jadi anak kurus. Kadang ada enaknya juga kalau lagi pada ngiri, katanya, bisa makan banyak dan bebas jam berapa aja tanpa insecure. Ngana pikir ogut gak mikirin hidup sehat? Susah tauuu ngatur pola makan dan pola hidup yang sehat. Kadang makan saya sembarangan banget, setelah itu nyesel. Tapi besok diulang lagi. Lha doyannya makanan gak sehat. Mungkin ini juga yang bikin badan gak lebar-lebar, paling mentok pipi jadi tebel. Tapi abis itu keliatan aneh karena muka jadi bulet dan suka bingung gimana pake jilbab yang enak dan gak bikin muka jadi bulet. Tapiii, kalau saya bilang diet karena muka udah ketebelan kayaknya sepele banget yakan masalah hidup wa?

Eh tapi btw, emang diet itu apaan?
Cewek-cewek sih taunya ngurusin badan aja. Padahal ya, diet itu artinya pengaturan pola makan. Bukan semata-mata cuma untuk tujuan ngurusin badan aja. Jadi, salah aja deh yang masih melakukan diet dengan cara ngurangin makan apalagi sampe kelaperan dan nahan-nahan gak makan enak demi terciptanya badan kurus nan langsing. Gemuk atau kurus kalau penyakitan ya sama aja tipu, sistaaa. Yang penting badan sehat, berat badan pun akan menyesuaikan. Misal akhirnya bisa kurus ya itu bonus, berarti sukses dietnya. Dan asal gak nyusahin aja sih, sampe kebawa mimpi mau makan ini itu tapi terhalang diet. Kan kasian :(

Semenjak hamil, akhirnya berat badan saya naik tiap bulan, walaupun dikit-dikit sih. Tapi gapapa, yang penting masih batas wajar, dan bidan atau dokter merasa ini bukan masalah. Akhirnya berat badan saya mencapai angka 50-an lagi, akhirnya saya menggendut, akhirnya perut saya membuncit, keras, dan sekarang lagi ngerasain lucu-lucunya si abang nendang-nendang. Tapi abis itu, suami bersabda, 'Badan kamu udah lebar banget ini'. Jengjeeenggg!!! Akhirnya ngerasain juga mirip-mirip jadi cewek yang insecure pas pasangannya bilang gendutan. Kadang saya ngambek, tapi kadang saya bisa ngeles, 'Iyalah, lagi hamil.' Tapi abis itu biasanya dibalas sama suami, 'Iya nanti abis lahiran jadi gede kayak ibu-ibu.' Reflek rasanya mau mendemin kepalanya ke tanah. Etapi jangan, nanti gak ada yang ngelus-ngelus punggung lagi sebelum obooooo~

Baca juga: Pregancy Diary: Trimester Pertama

Kehamilan saya udah masuk bulan ke-6, tapi masih ada aja mbak-mbak salon yang manggil dek, masih ada abang Go-Jek yang ngira saya mau berangkat kuliah padahal mau kerja, masih ada pak satpam yang ngira saya anak magang. Bahkan, HRD kantor saya bilang, 'kecil-kecil udah hamil' Maaaak kapan saya gedenyaaaa?! Kadang mau nanggapin semua hal ini dengan ketawa, tapi gak bohong juga seringnya sih tersinggung, ketika komentarnya dikatakan tidak dengan bahasa yang hati-hati, misalnya, 'Makan yang banyak apaaa, minta masakin nyokap biar gemuk'. Nyonyaaa, kekurusan badan saya bukan mencerminkan bahwa saya gak diurus sama ibu saya. Percaya deh, masakan ibu saya banyak yang nge-fans saking enaknya. Bekal tiap hari dibawain sampai dua porsi, tapi saya masih dikira gak diurus sama ibu saya. Kadang suka sedih. niatnya mau ngomentarin saya tapi bawa-bawa pihak lain :(

Ada juga yang pernah bilang, mungkin saya cacingan. Jadi gak bisa gemuk-gemuk. Saya sampai pernah minum obat cacing waktu SMA, sodara-sodara, dan efeknya memang lapar terus sampai sehari bisa empat kali makan. Ngaruh? Enggak. Tapi, walaupun cukup menyita pikiran saya sampai stres, saya gak pernah sama sekali kepikiran periksain diri ke dokter cuma untuk cari tahu apa yang salah di badan saya. Saya gak ngerasa lagi sakit atau kelainan soalnya. Saya merasa baik-baik aja. Lalu, akhirnya saya berusaha sebisa mungkin menepis komentar-komentar dan pikiran negatif yang bikin saya stres sendiri, dan terus menanamkan pikiran positif, yang penting saya sehat dan normal, tanpa kurang apapun. Mungkin benar, semakin dipikirkan, semakin stres dan akhirnya malah inilah sumber yang membuat saya semakin susah gemuk.

Yaweslah, yang penting gimana caranya bahagiaaa aja. Dan jangan sampai ikutan ngomentarin orang pakai kata-kata yang gak hati-hati, soalnya efeknya lumayan berpengaruh besar bagi yang bersangkutan. Dan mungkin akan diingat terus sampai tua, kan malah jadi beban orang lain.
Tiap sakit yang saya terima selama hidup, saya menganggapnya sebagai karma, pengguguran dosa yang pernah saya lakukan. Begitulah saya menghormati datangnya penyakit ke tubuh saya...

Selama dua puluh empat tahun hidup, mungkin bisa dibilang pertama kali saya 'menginap' di rumah sakit adalah saat saya dilahirkan oleh Ibu. Setelah itu, saya gak ingat bahwa saya pernah menyerahkan diri yang lemah di hadapan dokter selama berhari-hari di kasur rumah sakit. Dan saya gak mau sama sekali. Tapi, namanya manusia, cuma bisa takabur aja. Tapi, namanya umur, cuma tinggal tunggu waktu aja. Akhirnya saya bisa kayak orang-orang lain juga; masuk rumah sakit.

Waktu itu saya belum genap satu bulan menikah. Masih anget-angetnya jadi pengantin baru. Masih lengket-lengketnya mau bareng-bareng mulu. Eh, tapi masih harus kerja. Saya di kantor, suami di studio, nge-freelance. Di malam pas suami lagi pulang ke studionya di Jak-Bar, saya demam. Sampai besoknya, demam saya hampir mencapai 40°, saya izin dari kantor, lalu ke rumah sakit. Sebal. Karena saya akan pulang dengan membawa banyak obat yang harus saya habiskan berhari-hari.

Ternyata tidak. Saya gak bawa pulang obat. Malah saya gak bisa pulang dan 'buka kamar' di rumah sakit tersebut. Saya udah gak kuat berdiri, gak bisa kalau harus kena angin selama perjalanan pulang, padahal waktu tempuh gak sampai 10 menit. Kepala saya rasanya kayak udah pisah sama badan. Tumbang.

Saya ngabarin suami dan mertua kalau saya sepertinya harus dirawat. Suami saya, yang keadaannya belum tidur semalaman karena ngurusin kerjaan, langsung nyusulin saya ke rumah sakit. Infus mulai ditanam di tangan kanan. Obat dan makanan hambar mulai disajikan. Ibu mulai bawa-bawa perlengkapan karena harus menginap menjaga saya. Waktu itu saya sampai pakai sweater dan empat lapis selimut. Mual dan pusing sudah campur aduk. Mata saya gak kuat melek. Dan saya gak pernah ngebayangin kalau rasanya dirawat itu seperti ini. Lemas gak berdaya, seakan tubuh nyawanya udah tinggal sepertiga aja. Semua yang pertama kali ternyata memang tak terlupakan ya. Pertama kali jatuh cinta, pertama kali dicium, pertama kali punya uang, pertama kali naik pesawat, bahkan pertama kali dirawat di rumah sakit. Diagnosa dokter masih belum bisa keluar. Obat demam dan anti mual tetap diberikan.


Saya termasuk orang yang jarang sakit, tapi penyakitnya itu-itu aja. Masuk angin, meriang, flu dan batuk, paling parah, sariawan. Lah, parah gimana? Lha wong sariawannya sebulan bisa dua kali, kok. Sekalinya kambuh, bisa seminggu tersiksa. Gak bisa makan, gak bisa ngomong, minum aja tersiksa. Akhirnya dehidrasi, badan lemes. Yha, gitu aja penyakit saya yang paling parah. Tapi, jadinya kok sepele banget ya. Kalau izin gak masuk kerja karena sakit, dan ditanya 'Sakit apa?' saya jawab 'Sariawan' mungkin saya dibilang manusia paling loser banget kali ya di dunia ini :(

Tapi ketahuilah wahai manusia, penyakit sesepele sariawan pun bisa jadi kanker kalau baca-baca di Google (bukan begitu bukan?). Dan kalau polanya kayak saya yang sariawannya kayak menstruasi karena datang setiap bulan, memang lumayan jadi beban sih. Soalnya kayaknya ini juga yang bikin berat badan saya gak pernah lebih dari empat puluh lima kilogram selama dua puluh empat tahun hidup (emm, ini kebanggaan atau bukan?). Lha gimana, tiap sariawan jadi gak napsu makan.


Balik lagi ke rumah sakit. Eh, gak, maksudnya topik rumah sakit. Selama tiga hari saya dirawat, saya cuma dikasih makan dan obat doang, dokter jaga datang cuma nanya keluhannya apa. Dan belum bisa kasih diagnosa lagi. Katanya masih dicek di lab, kemungkinan saya DBD atau tifus. Hari keempat saya masih belum punya tenaga untuk (pura-pura membaik dan) minta pulang. Padahal udah gak tega lihat Ibu sama suami bolak-balik jagain saya. Dan suami jadi gak bisa lanjutin kerjaannya. Hari kelima, saya udah mulai seger. Bisa becanda, bisa pipis sendiri tanpa dianter, gak pura-pura membaik pokoknya. Akhirnya saya minta pulang. Tapi karena dokter jaganya gak ada, jadi saya baru bisa keluar besok, sekalian biar tahu diagnosa jelasnya juga (?). Tahunya dokternya cuma bilang kalau lambung saya luka. That's all.

Dengan ini saya menyatakan mengundurkan diri sebagai peminum kopi dan penyantap makanan pedas. Etapi gak lama, sebulan kemudian saya gak bisa nahan diri buat gak makan pedas. Tapi level-nya turun. Emang bandel aja, yang penting masih bisa makan pedas. Salah satu bentuk kenikmatan duniawi. Begitulah ke-norak-an saya yang baru ngalamin perawatan rumah sakit, dan berjanji gak akan balik lagi kecuali untuk melahirkan. Dengan ini pula, saya menganggap bahwa sakit saya yang kemarin adalah pengguguran segala kesialan saya di awal tahun, dan berharap semoga sepanjang tahun ke depan semuanya akan lebih baik dan lancar. Karena semua sialnya udah diperas habis di awal tahun.

Dua bulan kemudian, saya positif hamil.
Kurang sempurna apa misteri hidup kita di dunia ini?
Older Posts Home

SEARCH THIS BLOG

ARCHIVE

  • ▼  2023 (5)
    • ▼  March 2023 (1)
      • Perbedaan Selebritis dan Feminis dalam Memandang S...
    • ►  February 2023 (1)
    • ►  January 2023 (3)
  • ►  2022 (16)
    • ►  December 2022 (3)
    • ►  August 2022 (1)
    • ►  July 2022 (1)
    • ►  June 2022 (4)
    • ►  May 2022 (1)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  March 2022 (3)
    • ►  February 2022 (1)
    • ►  January 2022 (1)
  • ►  2021 (50)
    • ►  December 2021 (3)
    • ►  November 2021 (4)
    • ►  October 2021 (8)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  August 2021 (3)
    • ►  July 2021 (5)
    • ►  June 2021 (5)
    • ►  May 2021 (5)
    • ►  April 2021 (5)
    • ►  March 2021 (4)
    • ►  February 2021 (2)
  • ►  2020 (1)
    • ►  September 2020 (1)
  • ►  2019 (7)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  June 2019 (1)
    • ►  May 2019 (2)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (7)
    • ►  July 2018 (1)
    • ►  February 2018 (5)
    • ►  January 2018 (1)
  • ►  2017 (9)
    • ►  July 2017 (5)
    • ►  June 2017 (1)
    • ►  May 2017 (3)
  • ►  2016 (1)
    • ►  June 2016 (1)
  • ►  2015 (1)
    • ►  June 2015 (1)

COMMUNITY

BloggerHub Indonesia BloggerHub merupakan komunitas yang menaungi blogger di seluruh Indonesia. Siapapun kamu yang memiliki blog dan aktif dalam dunia ngeblog, dapat bergabung dengan BloggerHub dan mantapkan ilmu blogging-mu di sini.
Mothers on Mission MoM Academy adalah komunitas binaan langsung di bawah Mothers on Mission. Dengan memiliki misi “Mom harus pintar, bahagia dan produktif”, MoM Academy berkembang dengan begitu pesat. Saat ini sudah memiliki pengurus di 6 regional: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Special Regional (Campuran dari luar kota) yang tergabung dalam komunitas WA Group.
Powered by Blogger.
Kumpulan Emak2 Blogger Grup ini dibuat untuk menjalin persahabatan & memfasilitasi semua perempuan yang suka nulis, ngeblog atau sekedar curhat online di media sosial, untuk saling memberikan inspirasi, berbagi karya dan ide-ide positif, sehingga bisa menjadikan tulisannya sebuah karya yang bermanfaat.
Beautynesia Beautynesia is part of Detik Network media portal. 4 years already Beautynesia have became one of the fastest growing Indonesian female media start up. We are now at 30 millions view and continue to grow, our mission is to support Indonesia Female market

ABOUT AUTHOR

Widyanti Asty Hello! Welcome to my site. Please take a seat and enjoy reading. Click HERE to know more about me.

CATEGORIES

PARENTING & FAMILY
BEAUTY & SELFCARE
LIFESTYLE
PREGNANCY DIARY
REVIEW
ADVERTORIAL
OPINION

GET IN TOUCH

INFORMATION

ABOUT ME
CONTACT ME

Copyright © 2016 Widyanti Asty | Parenting Blogger Indonesia. Created by OddThemes