The Wedding: Satu Momen, Ribuan Rasa. Namanya Pernikahan

Hai!

Ternyata sudah lama banget ya saya gak nge-blog. Sampai bingung mau mulai lagi dari mana.
Hm, mungkin saya akan mulai berbagi banyak hal yang saya hadapi di dunia ini. Terlebih lagi, banyak momen penting yang sudah saya lewati akhir-akhir ini. Dunia memang misterius, ya. Sekarang kamu bisa merasa sangat putus asa, beberapa hari ke depan mungkin ada ribuan kesempatan untuk kamu berbahagia kembali dan melupakan semua hal yang sudah membuat kamu putus asa kemarin. Atau mungkin sebaliknya. Tapi, percaya saja dengan satu hal: dirimu sendiri.
Apa yang kamu tanam dalam pikiranmu adalah doa yang akan menemukan keyakinannya.

Akhir tahun 2016, saya melepas lajang. Bukan sebuah kebetulan. Ini adalah doa yang selalu saya usahakan. Bukan, bukan menikah karena mengejar usia, melainkan doa untuk melanjutkan kehidupan pada hal yang baik untuk saya. Dan ternyata, dia yang baik adalah dia yang pada akhirnya kembali didekatkan pada niat baik. Atas doa saya pada semesta yang sangat baik.

https://www.widyasty.com/2017/05/satu-momen-ribuan-rasa-namanya.html
Artwork yang dibikin sama suami saya sewaktu kita mau menikah (2016)

Saya mengatur pernikahan saya sesederhana mungkin, dengan niat yang juga sederhana, hanya ingin bersyukur bukan sekadar berpesta. Kurang dari dua bulan menyiapkan pernikahan membuat saya, pasangan, dan dua keluarga pusing. Gak sedikit juga yang mempertanyakan, 'kenapa harus buru-buru, sih?' Haha, jawabannya mudah. Karena gak banyak yang dipersiapkan, buat apa juga mengulur waktu? Pasangan saya juga waktu itu lumayan bersikeras bahwa pernikahan ini harus dilaksanakan sebelum 2016 berakhir, sehingga kita berdua bisa sama-sama menyusun kehidupan baru dari nol sejak awal tahun, yang mana ternyata semuanya memang gak pernah ada yang mudah. Maka, sejak 21 Desember 2016, kehidupan dan pola pikir saya lumayan banyak berubah.

Saya akan selalu ingat, bahwa hubungan saya dan pasangan saya punya musim pasang dan surut yang gak sedikit. Kami sama-sama melalui banyak hal berat dan berhasil melewatinya dengan memetik beberapa pelajaran di setiap masalah yang singgah. Tahun kedua, saat semuanya seakan semakin memburuk, justru menjadi awal harapan baru yang gak pernah saya sangka seumur hidup saya. Setelah berkali-kali putus-balikan, awal tahun 2016 pasangan saya benar-benar menunjukkan keseriusannya untuk kembali memperbaiki semua keadaan buruk yang pernah kami ciptakan. Dengan berat hati dan penuh keraguan, ternyata dalam hati saya masih ingin melihat semua bukti. Sebuah harapan yang gak pernah saya persiapkan risikonya, baik dan buruknya nanti. Awal November 2016, dia berniat baik ingin membeli cincin untuk melamar saya, dari hasil kerja kerasnya sendiri. Seakan semua direstui semesta, kami bisa membeli cincin tersebut. Bukan emas, hanya perak yang harganya gak seberapa. Tapi saya senang bukan main. Gak percaya tapi rasa harunya sampai ke ulu hati. Nyeri dan gemetar. Apa semua orang punya rasa yang kayak gini juga saat dilamar pasangannya? :")

Setelah membeli cincin, kami berdua sama-sama bicara dengan orangtua masing-masing untuk meminta restu. Mendengar kabar baik yang terlalu diburu-buru, orangtua saya lumayan terkejut. Antara senang dan kesal, karena saya minta nikah tapi kayak minta jalan-jalan. Tiba-tiba dan buru-buru. Walaupun orangtua saya sudah tahu lama bahwa kami berpacaran lama. Lalu, pasangan saya datang ke rumah dan mengundang Bapak untuk meminta restu langsung. Iya, Bapak sudah pisah rumah dengan Ibu dan saya sejak tiga tahun yang lalu. Di sini, keharuan yang lainnya datang. Setelah tiga tahun gak saling berkabar dan bertemu, akhirnya saya bisa lihat Bapak lagi, untuk meminta restu menikah. Adakah yang bisa saya katakan pada semesta atas semua tantangan ini?

Setelah kami akhirnya saling mendapat restu, dua minggu kemudian (tepatnya awal Desember) keluarga pasangan saya datang ke rumah untuk melamar saya secara resmi. Meminta izin pada orangtua saya untuk 'meminta' saya 'diambil' oleh calon suaminya, menjadi satu keluarga yang bisa saling menghormati dan membantu, menjadi satu keluarga yang disatukan oleh cinta. Hanya dengan mengingat ini, saya gak pernah mau berhenti bersyukur. Dua minggu kemudian, kami resmi menikah.

Baca tentang semua persiapan pernikahan saya: Nikah Tanpa Resepsi, Bisa?

Singkat? Sangaat.
Bagaimana cara mengurus semua itu hanya dengan hitungan minggu? Gak susah. Karena memang gak banyak yang harus dipersiapkan.
Kenapa? Karena kami gak menyelenggarakan resepsi atau pesta pernikahan. Hanya akad nikah yang sakral dan pengajian, dilanjut kumpul-kumpul santai dengan tamu undangan yang jumlahnya sangat sangat terbatas untuk kerabat terdekat saja.
Bagi saya, inilah pesta pernikahan impian. Dengan kunjungan dari orang-orang terdekat yang benar-benar saya yakini dan saya pilih sendiri. Dengan doa, dukungan, dan restu dari keluarga dan kerabat terdekat. Dengan turut serta tamu undangan yang ikut berbahagia dan menikmati kebahagian yang kami suguhkan dengan sederhana, namun terasa intim dan berkesan.
Terima kasih, Tuhan. Hingga tua nanti, saya gak akan bosan mengingat momen indah ini.

Persiapan pernikahan mungkin akan saya bahas di tulisan selanjutnya, sebagai tips juga jika kalian yang membaca tulisan ini ingin sekali menggelar pernikahan tanpa resepsi atau terbatas biaya.
Jangan takut, semua hal baik akan selalu ada jalannya. Bukan dengan cara yang dipaksakan, tapi dengan usaha dan perasaan puas yang maksimal.

Share:

0 comments

Thank you for meeting me here! Hope you will be back soon and let us connect each other 😉